AKHIR-AKHIR ini saya merasa ide untuk menulis mulai ‘tersendat’. Padahal setiap hari, saya terbiasa membaca koran pagi, tentu semestinya saya mendapat banyak bahan untuk menulis. Disisi lain, dinamika lingkungan yang selalu ‘berubah dan menantang’ pun semestinya pula dapat saya olah jadi sebuah tulisan. Tapi entah kenapa saya justru terdiam. Jari-jari ini terasa vakum karena tidak ada perintah untuk menulis dari otak.
Koran pekan ini banyak membahas hal-hal heboh, seperti semakin sadisnya gerakan militan ISIS di kawasan Timur-Tengah sana, lalu keadaan nilai rupiah dalam negeri yang terus melemah, saya anggap juga sebagai keadaan pemerintah yang sama lemahnya pula dalam menghadapi situasi ini. Disisi lain, berita olah raga, salah satu favorit saya, Real Madrid yang kalah dari Schalke 04 di ajang Liga Champions dan semakin ketar-ketirnya Manchester United di liga domestik. Semua itu semestinya bisa saya olah menjadi sebuah tulisan.
Semakin saya banyak mendapatkan info, semakin otak saya terasa dijejali berbagai informasi. Semakin banyak informasi, rasanya saya justru sulit memilah mana yang “layak” untuk dianalisis dan dibuat sebuah tulisan. Mungkin ada sesuatu yang membuat otak saya ini “berjalan lambat” dalam mengolah informasi itu.
Di kehidupan harian, saya menghadapi lingkungan baru yang punya ‘karakternya’ sendiri. Mulai dari tim kerja yang baru. Tempat kerja saya sekarang memang sudah pernah saya alami sebelumnya, tapi saat ini saya dihadapkan pada tim yang berbeda. Sifat orang-orangnya pun berbeda. Jika boleh dikatakan, untuk yang saat ini dapat dikatakan kumpulan orang-orang “penuh alasan dan terlalu berharap lebih”. Jadi saya, yang saat ini berposisi “diatas” mereka, harus bisa mengatasi perbedaan dan tantangan ini.
Saya memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan lembaga tempat saya bernaung untuk kembali ke ‘jalur’ yang benar. Banyak yang berubah dibanding saat saya terakhir kali meninggalkan lembaga ini setengah tahun yang silam. Sayangnya, perubahan yang “buruk”.
Disisi lain, saya menghadapi kesadaran pribadi yang berbeda pula. Kini, saya akui, saya lebih cenderung menuju sosok yang perfeksionis, hati-hati, dan mengedepankan logika. Setelah banyak pengalaman yang saya dapatkan, selama masa “pencarian” lalu, saya menjadi sosok yang berbeda dalam memandang kesempatan dalam hidup. Saya melihat dari perspektif yang lebih luas daripada sebelumnya. Hidup hanya sekali, setiap langkah perlu pertanggungjawaban.
Anggapan saya terhadap kesempatan kerja yang datang saat ini, merupakan amanah yang harus saya jalani secara sungguh-sungguh. Apabila saya gagal atau tidak maksimal dalam melaksanakan tugas kali ini, maka apakah saya pantas untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih tinggi? Sebuah pekerjaan yang masih menjadi mimpi dan target utama hidup saya.
Semakin bertambahnya umur, semakin banyak pertimbangan dan keputusan yang harus diambil...
Itu mengenai perubahan pribadi saya tentang bagaimana cara saya memandang pekerjaan. Disisi lain, saya sudah menyadari satu hal. Bahwa “usaha” saya saat ini untuk mengenalnya sudah menuju titik akhir. Sebuah akhir yang bukan berarti keberhasilan, namun “ketertundaan”. Saya akui saya masih belum pantas dan menyatakan mundur secara perlahan. Tapi dari “usaha” ini saya belajar banyak hal, salah satunya, bagaimana mempersiapkan semua hal dalam pola yang rapi dan terencana. Ia punya jalannya sendiri, saya juga punya jalan sendiri. Mungkin saja, pada suatu kehidupan jalan itu menuju satu arah. Tapi bisa saja semakin menjauh. Tidak mengapa, yang perlu saya lakukan adalah mendoakan yang terbaik untuk “jalan’nya itu, dan saya tetap akan terus berusaha untuk menjadi individu yang lebih baik.
Selama sepekan ini, saya juga tenggelam dalam dua buah novel. Novel The Cuckoo’s Calling karya Robert Galbraith dan draf novel detektif dari seorang kawan. Untuk judul yang terakhir, saya diminta menjadi, semacam, editor awal. Jadilah saya harus menyelesaikan keduanya.
Semua itu yang ‘mengusik’ pikiran saya selama sepekan ini. Atau mungkin saya ini terlalu serius dalam melewati hari-hari? Saya kadang iri ketika melihat orang-orang, umumnya para orang muda, di jalan Malioboro. Saya iri bagaimana mereka bisa menikmati waktu senggang mereka. Menghabiskan sore sambil duduk dan tertawa di pinggir jalan. Seumur-umur sejak saya kuliah dulu hingga kini, saya tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di trotoar perempatan Malioboro itu. Hanya lewat menggunakan motor.
Sebenarnya ingin juga pergi keluar, tapi... Ada hal lain yang menjadi pertimbangan. Apa mungkin, ini juga yang membuat para perempuan enggan melirik ke saya ya? Saya terlalu kuper. Saya hanyalah lelaki yang tenggelam dalam tumpukan koran dan terjebak rutinitas harian. Jadi nggak asyik sama sekali deh... Apa iya demikian?
Ada baiknya saya memberi waktu untuk diri agar lebih “luwes”. Tapi entah kapan...
Sebentar... Kapan dapat idenya?? []
Di malam yang hening... | 13 Maret 2015
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.