TULISAN diatas adalah judul headline dari Harian TEMPO Ahad yang terbit empat Oktober lalu. Tema yang diangkat tentang biro jodoh dan seluk beluk didalamnya. Mulai dari latar belakang pendirian biro hingga metode yang digunakan untuk mempertemukan antara dua insan.
Saya sendiri awalnya kaget membaca judul itu. Sampai segitunya TEMPO mengangkat tema tentang biro jodoh. Mungkinkah keberadaan biro jodoh saat ini memang sudah menjadi sebuah gaya hidup (lifestyle) dikalangan manusia negeri ini? sampai-sampai TEMPO mengangkatnya menjadi tema utama.
Membaca paragraf pembuka (lead) saya makin tertegun. Bukan karena keadaan saya yang saat ini masih lajang. Kalau kata anak muda jaman sekarang namanya “Jomblo”. Saya tertegun dengan tulisan lead itu. Tertulis seperti ini:
Jumlah lajang di negeri ini terus meningkat dan mereka tak segan menggunakan biro jodoh untuk menemukan pasangannya...
Poin perhatian saya jatuh di kata-kata “Jumlah lajang terus meningkat” dan “Tak segan menggunakan biro jodoh”. Tapi paragraf lead itu belum selesai sampai disitu. Lanjutannya seperti ini,
Biaya keanggotaannya yang bervariasi mulai Rp 3 juta hingga Rp 21 juta tak menjadi masalah.
Saya berpikir lagi.. Ternyata untuk mencari jodoh pun tidak gratis. Benar sih, jaman sekarang mana ada sih yang gratis? Air putih di rumah makan pun sekarang bayar.
Baik.. ijinkan saya untuk menyampaikan pandangan saya tentang pembahasan ini. Memang topik ‘cari jodoh’ itu menarik untuk dibahas. Apalagi jika Anda masih menjadi pelaku utama...
Belom Jodoh...
TEMPO mencantumkan sebuah data riset mengenai jumlah lajang di Indonesia dari Heart Inc. Hasilnya sejak tahun 2010 hingga 2014, jumlah lajang di Indonesia semakin meningkat. Jumlah jomblo yang berusia diatas 27 tahun meningkat 2 persen setiap tahun. Pada tahun 2010, jumlah jomblo laki-laki mencapai 4,9 juta orang. Sementara jumlah jomblo perempuan 4,7 juta. Pada 2014, jumlah jomblo laki-laki menjadi 5,1 juta jiwa dan yang perempuan 5 juta.
Tidak sampai disitu, pendiri biro jodoh Heart Inc., Zola Yoana menuturkan, “Kebanyakan menengah atas, berkarier bagus, dan berpendidikan tinggi.”
Oke... setelah membaca paragraf itu saya tertegun (Sering tertegun mungkin menandakan level jomblo seseorang sudah di level akut).
Kalau jumlah jomblo perempuan sampai 5 juta jiwa, kenapa sampai sekarang saya tidak dapat seorang pun diantaranya??, “Kalaupun dapat satu gebetan, kenapa si doi langsung pergi menjauh?” Seorang kawan jika mendengar pertanyaan saya ini, pasti menjawab “Mungkin belom jodoh lo, bro...” Tulus, simpel, dan retoris.
Selain itu, pikiran saya juga mulai berkata-kata, kenapa juga para jomblo itu justru dari kalangan menengah atas? Apa mereka sebegitu ku-pernya sampai tidak bisa mencari pasangannya sendiri. Ada 5 juta orang loh di luar sana....
Ditambah dengan keadaan mapan, golongan jomblo tipe ini mungkin lebih selektif dalam menentukan pasangan. Mereka lebih rigid dalam berhitung dan menilai seseorang. Penilaiannya bisa dari latarbelakang keluarga calon pasangan, tingkat pendidikan, hingga attitude diri calon pasangannya.
Ya semakin bertambahnya usia dan tingkat hidup seseorang, semakin bertambah pula perhitungan untuk mencari pasangan hidup. Ingat kita tidak sedang membicarakan cinta monyet lho. Tapi jangan baper, kalau monyet aja punya cinta, kenapa saya tidak? Oke lupakan kata-kata terakhir itu..
Tak Kenal maka Ta’aruf...
Dalam mencari pasangan, hal pertama yang harus dilakukan, Anda harus berkenalan. Ya maksud saya ta’aruf itu. Tapi jika tahap perkenalan saja Anda bertanya “Harus mulai dari mana...??” berarti persoalan Anda sama dengan saya.
Sebelumnya ijinkan saya bercerita sedikit. Suatu siang, selepas selesai jam kerja, saya nongkrong sejenak di pos satpam. Disana saya kenal dengan seorang satpam yang sangat supel, dan beliau mudah untuk diajak bicara. Selepas seharian penat dengan urusan ini itu, pembicaraan ringan mungkin bisa menjadi obat suntuk.
Nama bapak satpam itu Pak Didik. Mungkin usianya 35-an tahun. Sudah beristri dan memiliki anak dua. Karena kami sering berinteraksi, mungkin Pak Didik paham tentang ke-ngenesan saya soal hal-hal yang beraroma romantisme. Jadi tidak jarang, Pak Didik mencoba mengenalkan saya dengan orang-orang yang mungkin “recommended”.
“Mas Dim, mau nggak saya kenalkan sama si S gak? (saya samarkan, siapa tahu yang punya nama baca tulisan ini), Dia gini... (sembari mengacungkan ibu jari)
Mendengar itu saya mrenges saja...
“Orang mana pak? Di kantor ini? atau mahasiswa?
Melihat respon saya, Pak Didik semakin bersemangat.
“Emmm saya nggak tahu. Yang jelas dia sering lewat depan pos. Apa mau saya kenalkan?” tawar Pak Didik dengan mengangkat sebelah alisnya.
Saya menjawab...
“Ah, nanti dulu pak.. Sama yang kenal dulu aja..”
Belum selesai, Pak Didik langsung menyambar...
“Siapa mas?
Dengan lirih...
“Ya gak tahu, Pak...”
Suasana hening...
Oke pembicaraan kami berlanjut lagi. Banyak hal yang kami bicarakan. Lewat ngobrol memang bisa meringankan pikiran dari kepenatan. Apalagi kalau yang diajak bicara, bisa paham dengan kita. (Oke mulai baper lagi)
Sebelum menutup obrolan kami karena sudah semakin sore. Pak Didik mengucapkan kata-kata yang semakin membuat saya tertegun.
“Kalau cari jodoh itu... pasti yang dekat sama kita. Kalau kayak panjenengan (Anda) ya paling teman sekantor. Atau dengan cara lain, ya lewat mak comblang. Mau gimana lagi, kan pergaulan semakin terbatas karena ada tuntutan pekerjaan juga kan?”
Mungkin ada benarnya juga kata-kata Pak Didik itu. Dalam mencari jodoh itu, mungkin Anda perlu “Pihak Ketiga”. Di-comblangin lewat teman atau jasa Biro Jodoh.
Tapi kalau gitu, saya harus merogoh kocek dalam-dalam, karena biro jodoh tidak ada yang gratis. Kalau pun lewat teman, teman pun pasti minta ‘tagihan’ tersendiri. Ya mana ada jaman sekarang yang gratis mas bro!
Ada yang gratis, jika Anda mencari sendiri pasangan Anda dan menemukan yang pas di waktu yang tepat pula. Si doi sedang mencari pasangan hidup, Anda juga. Jadi Klop. Kemungkinan itu masih sangat terbuka untuk didapat. Ingat, 5 juta orang bukan jumlah yang sedikit.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjemput jodoh. Mulai dari memperluas perkawanan, dicomblangin, atau lewat biro jodoh yang semakin menjamur.
Emmm... mungkin kita (para kaum lajang) juga harus mengukur diri terlebih dahulu. Kan gak lucu kalau tampilan biasa saja, tapi ngarep jodoh kayak Isyana Sarasvati. Tapi tidak menutup kemungkinan Anda mendapatkan jodoh yang bisa bikin orang sekampung iri.
Oke, ini tulisan memang gak penting banget. Apalagi bagi Anda yang sudah punya pasangan. Tapi, janganlah Anda tertawa-tawa setelah membaca tulisan ini. Karena hargailah kami sebagai kaum lajang. Anda mungkin sudah lupa betapa sulitnya mencari pasangan (karena sekarang Anda sudah mendapatkannya), jadi sekarang, lebih baik hargailah setiap momen dengan pasangan Anda dan doakan kami juga supaya dapat pasangan. Hehe..
Oke... Salam lajang...
Lima juta orang menunggu di luar sana... []
14 Oktober 2015
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.