Langsung ke konten utama

Ketika Andrea Bercerita Tentang Ayah dan Cinta



LAMA tak mendengar kabar dari Andrea Hirata, kini ia mengeluarkan karya terbarunya dengan judul “Ayah”. Terakhir kali saya membaca novel karya penulis asal Belitong ini kira-kira tahun 2013 silam. Saya membaca Dwilogi ‘Padang Bulan’ dan ‘Cinta Dalam Gelas’. Kedua novel itu benar-benar menguatkan nama Andrea sebagai novelis hebat yang pernah dimiliki bangsa ini. Meski sebelumnya saya pernah kecewa dengan novel Maryamah Karpov, novel keempat dalam seri Tetralogi Laskar Pelangi.

Keraguan saya sedikit muncul ketika melihat cover buku terbaru ini. Entah kenapa justru pikiran saya kembali ke Maryamah Karpov. Meski tetap saya tidak pernah meragukan kualitas Andrea di karyanya selain Maryamah.

Selain itu, pikiran saya kembali ke sosok ‘Ayah’ yang selalu ingin ditunjukkan oleh Andrea. Mulai dari ‘Laskar Pelangi’, kemudian terlihat jelas di ‘Sang Pemimpi’ hingga kini justru terpampang sebagai judul kover. Di dua novel yang disebutkan pertama itu, Andrea benar-benar ingin menunjukkan peran seorang ayah (mungkin dari sosok ayahnya sendiri) yang telah berperan dalam hidupnya.

Beberapa hari kemudian setelah saya melihat novel itu di Gramedia, saudara kembar saya justru sudah membaca novel Ayah lebih dahulu. Ia bercerita kalau novel ini sangat bagus dan ciri khas komedi ala Andrea sudah kembali. Katanya hampir mirip dengan gaya Laskar Pelangi. Kemudian saya iseng membaca sedikit novel itu.

Di bagian awal novel banyak endorsement dari beberapa tokoh terkenal. Saya bingung, novel ini kan baru saja keluar, tetapi kenapa sudah ada di-endorse? Ternyata endorsement itu untuk novel The Rainbow Troops, seri internasional dari Laskar Pelangi.

Kemudian saya mulai baca bab pertama. “Purnama Kedua Belas”. Di paragraf pertama dari bab ini saja, gaya Andrea yang khas dalam menggambarkan keadaan secara detail sudah mulai terasa. Selain itu gaya narasi lucu Andrea juga terlihat. Seperti di paragraf ini..
Abu meong nama kucing tadi, meloncat dari pangkuan juragannya lalu melangkah menuju dapur dengan gaya seperti orang habis melempar bola boling. Penuh gaya tetapi palsu. Selain patah hati, kucing dapur itu juga menderita tekanan batin, post-power syndrome istilah masa kini, semenjak tikus-tikus di rumah itu minggat.
Menurut saya, disitulah letak kepintaran Andrea dalam merangkai kata. Pernahkah kepikiran kalau seekor kucing juga menderita sebuah post-power syndrome? Ya hanya Andrea yang memikirkan hal itu..

Bagai cinta pada pandangan pertama, saya merasa jatuh cinta sejak bab pertama novel ini.

Diceritakan sosok Sabari, yang miskin dan hidup sendiri, dengan kucingnya, yang senang duduk memandang bulan purnama sambil memegang sebuah pensil. Ia sangat mencintai Marlena. Teman semasa SMP dan yang nantinya kelak menjadi istrinya.

Meski sangat mencintai Marlena, namun perempuan itu justru sebaliknya. Ia merasa sangat tidak suka kepada Sabari. Jadinya Sabari hanya menjalani cinta yang bertepuk sebelah tangan. Saat menjalani kisah cintanya di SMP hingga SMA, ia berkawan dengan tiga orang kawannya. Terjadilah persahabatan yang erat diantara mereka berempat. Kisah persahabatan keempatnya tetap mendapat porsi besar di dalam novel ini. Seperti sebuah ‘pegangan tetap’ bagi Andrea untuk selalu menjunjung nilai persahabatan didalam karya-karyanya.

Marlena yang digambarkan memiliki perawakan menarik dan ayu itu akhirnya menikah dengan Sabari. Tentu setelah Marlena dikabarkan melahirkan di luar nikah dengan laki-laki lain. Untuk menjaga nama baik keluarga, Markoni, ayah Marlena, akhirnya menikahkan putrinya dengan Sabari.

Lahirlah seorang anak laki-laki, yang kemudian Sabari beri nama Zorro. Karena anak itu suka sekali dengan boneka Zorro. Setelah menikah pun Marlena pergi entah kemana. Bahkan hingga menikah sampai tiga kali. Meski demikian, Sabari tetap mencintai Marlena, dan cintanya semakin besar setelah Zorro lahir.

Ia selalu membacakan puisi untuk Zorro saat sebelum tidur. Selain membuatkan puisi, Dibacakannya nama-nama menu daftar makanan dari restoran. Yang jelas setiap kali Sabari membacakan menu itu, Zorro selalu tertawa dan bahagia. Karena Marlena pergi, jelas ia yang mengurusi seluruh kebutuhan bayinya. Mulai dari membuat susu hingga urusan lainnya. Dari penjelasan itu, saya mulai sedikit paham kenapa Andrea memberikan judul “Ayah” untuk novelnya kali ini.

Saking tidak mau lepas dari Zorro, Sabari selalu menjaganya. Bahkan ia rela mengundurkan diri dari tempat kerjanya sebagai pencetak batako, hanya untuk mengurusi anaknya itu. Singkat cerita, suatu hari saat ia mengajak Zorro berkeliling dengan sepedanya, Marlena mengambil Zorro. Terpisahlah kedua Ayah dan anak itu. Marlena mengambil Zorro karena telah menggugat cerai Sabari.

Maka kosonglah hari-hari Sabari. Rutinitasnya dalam merawat Zorro kini tak bisa lagi ia lakukan. Semenjak itu, ia berubah seperti orang gila. Tubuhnya tidak terawat, hingga tempat tinggalnya juga ikut-ikutan tak terawat. Meski demikian, ia tetap mencintai Marlena, tetap sama seperti rasa cintanya sejak mereka awal bertemu. Hanya yang ia sangat sesalkan, ia harus berpisah dengan Zorro.

Cerita berkembang dengan kisah hidup Marlena dengan masing-masing suaminya. Cerai dan nikah lagi. Di setiap pernikahan itu, para suami juga memiliki cerita yang berbeda. Bahkan jika dicermati akan semakin kental pesan novel “Ayah” ini.

Melihat Sabari seperti orang gila, para sahabatnya tidak tinggal diam. Ukun dan Tamat, sahabat Sabari, memutuskan untuk mencari Marlena dengan berkeliling Sumatra. Mereka menelusuri sahabat pena Marlena satu per satu.

Akhir cerita tentu bisa Anda tebak. Jika tidak silahkan Anda baca lengkap novel ini.

Novel ini kaya akan pesan. Mulai dari persahabatan, cinta sejati, cinta seorang ayah kepada anaknya, bahkan peristiwa ‘stolen generation’ dari negeri kanguru. Kecintaan Andrea pada Indonesia juga termuat dalam buku ini. Mulai dari rangkaian puisi-puisi yang berkualitas hingga penggunaan Bahasa Indonesia, yang sudah semestinya kita banggakan.

Yang membuat saya kaget, ternyata semua rangkaian kisah yang ada di dalam buku ini merupakan kisah nyata. Yang itu tercantum di bagian bab terakhir. Andrea mampu menuturkan kembali kisah itu menjadi suatu karya yang sangat mumpuni. Apalagi di bab itu juga menceritakan proses pembuatannya masih inline dengan karya-karya sebelumnya.

Kesimpulan saya, novel ini bagus dan sangat ringan untuk meriangkan hari Anda. Cocok dibaca diberbagai keadaan. Jika pembaca sudah menjadi seorang Ayah, mungkin lewat novel ini dapat merefleksikan sosok ‘Ayah’ yang baik.

19 Agustus 2015 | Dimas Y. Langgeng

Komentar

Postingan populer dari blog ini