SAYA memiliki pandangan dalam hidup, bahwa manusia di setiap masa hidupnya akan dihadapkan pada keadaan yang berubah-ubah. Dan perubahan itu menjadi suatu keniscayaan yang mesti kita pegang. Oleh karenanya kita perlu senantiasa mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan itu.
Ada dua pengalaman hidup yang dapat saya ceritakan melalui tulisan ini. Pertama, ketika saya menjalani puasa Ramadhan tahun lalu. Saat saya sedang merantau di Kota Temanggung. Memulai sebuah tantangan baru di kota yang sangat dekat dengan lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Bertemu dengan Bertemu dengan orang-orang yang baru dikenal dan lingkungan sosial yang benar-benar baru.
Kisah kedua, setelah saya selama enam bulan di Kota Temanggung, saya kembali lagi ‘Kota Gudeg’, Yogyakarta. Sebuah kota yang saya habiskan selama empat tahun untuk menimba ilmu dan mendapat pelajaran hidup disana. Mulai dari ‘pelajaran’ tentang kepemimpinan, komitmen, dan syukur.
Uniknya dari kedua pengalaman di dua kota yang berbeda itu, ada satu persamaan. Yaitu sama-sama menghabiskan waktu Ramadhan. Dua kota dengan keadaan yang sangat berbeda, ditambah lagi dengan keadaan sosial yang baru dan unik. Lewat dua Ramadhan di kota-kota itu saya memperoleh banyak pengalaman baru.
Pelajaran pertama untuk Ramadhan di Temanggung. Waktu itu kali pertama saya mendapatkan sebuah pekerjaan dengan bayaran profesional. Lingkungan kota yang baru dan sosial yang baru jelas ada keraguan tentang kemampuan saya disana. Temanggung kota yang unik. Meski kotanya kecil, bahkan lebih kecil daripada kampung saya di Kebumen, tapi selalu memiliki even besar di alun-alun pusat kota. Di pagi hari suhu bisa sangat dingin, bahkan tidak jarang kabut masih menyelimuti setiap sudut kota, meski jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dan di bulan Ramadhan, itu bertepatan dengan “musim mbako’. Ya selain musim hujan dan musim kering, di Temanggung ada musim tembakau. Jika Anda kesana, maka Anda akan melihat banyak tembakau di jemur di tanah lapang untuk dikeringkan.
Sebagai perantau yang baru datang, jelas itu pemandangan unik dan baru bagi saya. Tidak pernah sebelumnya, baik di Kebumen atau di Jogja, saya melihat tembakau di jemur sebegitu banyaknya. Nantinya hasil tembakau yang sudah dikeringkan, dipasok ke sebuah pabrik rokok, atau di konsumsi pribadi oleh sang petani.
Satu sampai dua pekan pertama saya, saya bingung untuk beradaptasi. Jadi saya mencari makanan untuk berbuka dan sahur, di warung yang sama setiap harinya. Sempat mencoba membeli di sebuah warung tenda yang belum pernah saya datangi, tapi ternyata harganya ‘mengagetkan’. Sebuah warung yang menjual ayam goreng. Batin saya paling harganya tidak jauh berbeda dengan harga ayam goreng di Jogja. Tapi ternyata dugaan saya meleset. Satu porsi ayam dengan nasi dan segelas es teh, harganya 22 ribu. Itu sama saja dua porsi kalau di Jogja. Selepas pengalaman itu, saya belajar, memang benar ada warung kakilima harga bintang lima.
Saya memutuskan untuk membeli disebuah warung makan sederhana di dekat kosan. Bertemulah saya dengan seorang pemilik rumah makan yang sangat ramah. Namanya Pak Bambang. Beliau menjalankan bisnis rumah makannya ini sejak 2009 silam. Alasannya bosan menjadi ‘anak buah bos’. Ia ingin menjadi bos dari usahanya sendiri. Selama berinteraksi saya jadi tahu bahwa beliau juga tipe orang yang suka membaca. Tidak jarang saya mendapati sebuah buku di meja tempat ia menunggu pelanggan. Jadi ngepas. Saya yang termasuk kutunya buku, sering membawa bahan bacaan. Tidak jarang saya membawa koran. Dan kami bisa bertukar pandangan tentang berbagai hal, mulai politik, pemerintahan, sampai masalah ekonomi. Ya saya sarankan, jika Anda mencari kawan, carilah yang suka baca buku. Dijamin pembicaraan Anda tidak akan basi.
Suatu ketika saya mendapat dua ekor ayam (hidup). Kedua ayam itu saya dapatkan dari kawan satu tim, Mas Bowo, yang juga seorang peternak ayam. Bingung mau diapakan kedua ayam itu, karena di kost saya tidak punya pisau bahkan dapur. Dan perlu diingat, saya ini tidak tegaan kalau harus motong ayam. Selama perenungan bagaimana caranya untuk ‘mendayagunakan’ kedua ayam itu, saya keingetan dengan Pak Bambang.
Jadilah saya bawa ayam itu ke warungnya. Dan saya meminta beliau untuk memotong dan menggorengnya. Beliau menyanggupi dan berjanji ketika saya kembali saat malam, ayam itu sudah jadi ayam goreng! Dan benar saja, ketika saya datang kembali, ayam itu sudah tidak dalam bentuk hidup lagi, tapi sudah di atas piring. Saya bagi dua, satu untuk Pak Bambang, satu ayam untuk saya. Malam itu saya makan gratis.
Dicerita saya itu, saya menyadari saya mampu melakukan satu hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Hal itu adalah negosiasi. Ya bagaimana saya mencari cara dan akhirnya harus bernego untuk masalah pemotongan ayam itu. Alhamdulillah keputusan akhirnya sesuai harapan. Ayam terpotong dan tergoreng, lalu saya bisa makan gratis. Hehe..
Kisah yang kedua, ketika saya kembali mendapatkan kesempatan merasakan Ramadhan di Jogja. Awal tahun 2015 saya selesai kontrak kerja di Temanggung. Sembari mencari sumber penghidupan baru, saya mendapat info kalau akan diadakan temu alumni fakultas.
Saya teringat dengan kata-kata, “Silaturahmi itu salah satu pintu rejeki”. Pikir saya waktu itu, daripada berdiam diri di rumah, saya lebih baik ikut acara itu. Siapa tahu memang ada rejeki disana.
Hari H pelaksanaan temu alumni datang juga. Saya bertemu muka-muka yang asing di mata saya. Angkatan saya ternyata tidak banyak yang menghadiri temu alumni itu. Sangat disayangkan, karena saya ingin, setidaknya, bertukar kabar dengan mereka.
Saat duduk sendiri, tiba-tiba seseorang memanggil saya. Suara itu saya kenal jelas. Ternyata yang memanggil saya adalah Bu Aan. Dosen sekaligus Kepala Unit Pelayanan Psikologi UAD. Dulu saya pernah magang di UPP UAD jadi sangat kenal beliau. Saya langsung menemui beliau, dan tidak disangka saya ditawari posisi untuk menjadi laboran di UPP. Tidak lagi magang, tapi sudah terikat kontrak kerja. Saya iyakan tawaran itu, meski saya ada ragu juga apakah saya bisa memenuhi harapan beliau untuk memajukan UPP.
Di sinilah saya kembali merenung. Di malam, lima bulan setelah pertemuan itu, saya berpikir, bagaimana jadinya kalau saya tidak ikut acara alumni itu? Bagaimana apabila saya lebih memilih tinggal di rumah dan terus mencari lowongan pekerjaan di internet dan koran? Ternyata memang benar, silaturahmi mendekatkan Anda pada rejeki. Bukankah Allah SWT akan memberikan rejeki dari sudut yang tidak pernah Anda duga sebelumnya?
Dari dua pengalaman itu saya mensyukuri dan merenungi. Betapa hidup itu tidak pernah kita duga. Tetapi setelah kita mendapatkan ‘jalan hidup’, baik yang sesuai harapan maupun yang tidak, kita harus kuat berjalan di atasnya, kita dituntut untuk terus bersabar dan istiqomah.
Kesempatan hanya datang satu kali. Misalkan Anda seorang mahasiswa, maka Anda harus belajar sebaik mungkin untuk mendapatkan nilai maksimal, atau Anda seorang pekerja/karyawan tingkat bawah, Anda juga tetap harus bersyukur dan maksimal dalam bekerja. Saya meyakini, apabila Anda benar-benar memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya niscaya Anda akan mendapat balasan yang setimpal. Entah balasan itu diberikan saat di dunia atau di akherat kelak.
Dalam pandangan saya, Anda boleh membantahnya, setiap kesempatan yang diberikan itu bagaikan amanah, kalau kita lalai dalam menggunakan amanah itu maka kita akan gagal dalam ujian amanah itu, selanjutnya kita tidak akan dipercaya untuk memegang amanah yang lebih besar. Tetapi apabila Anda mampu memegang amanah itu dengan baik, InsyaAllah Anda akan dipercaya untuk mengemban amanah yang lebih tinggi.
Mari kita bersama-sama terus bersyukur dan bersabar dalam setiap fase kehidupan yang dijalani saat ini. []
Sumber Gambar :
http://www.yourtrainingedge.com/wp-content/uploads/2015/03/change.jpg
20 Ramadhan
1436 H | 07 Juli 2014
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.