Langsung ke konten utama

Selamat Jalan Pak Dhe...

 
SORE tadi hujan masih turun di luar. Hanya gerimis, namun petir tak berhenti menyambar. Saya saat itu sendirian di kost. Memikirkan ide tulisan selanjutnya. Tiba-tiba handphone saya berdering. Ibu saya menelepon...

Tidak seperti biasa, suara ibu saya serak. Seperti suara orang yang sesenggukan karena menangis. Batin saya bertanya, ada apa.. Belum sempat saya bertanya, ibu saya memberitahukan berita itu. Sebuah berita yang mengagetkan dan mengejutkan. Petir menyambar di luar..

Ibu saya mengatakan bahwa Pak Dhe Topo meninggal sore tadi. Pak Dhe Topo adalah kakak pertama dari ibu saya. Seorang yang paling dituakan di keluarga besar kami, karena saya sudah tidak memiliki kakek nenek. Sosok Pak Dhe bagi adik-adiknya, termasuk bagi ibu saya, merupakan sosok yang paling dihormati.

Sesaat setelah mendengar kabar itu, saya hanya termenung. Ingatan saya kembali ke waktu yang lalu, waktu dimana saya masih kecil. Sebuah kenangan yang tidak akan terlupa.

***

Waktu itu saya baru akan masuk SD. Pak Dhe memberikan sebuah meja belajar untuk kakak dan saya. Jelas sangat senang rasanya menerima sebuah meja belajar. Apalagi mejanya besar. Untuk ukuran bocah SD jelas sangat “Wah”. Meja itu terdiri ada sebuah lemari untuk menyimpan buku dan sebuah rak untuk tempat buku-buku.

Dalam benak Dimas kecil, selalu terbayang bagaimana caranya supaya meja itu terisi buku-buku. Waktu itu saya hanya punya beberapa komik Doraemon dan sedikit mingguan Donald Bebek. Saya taruh saja semua koleksi itu di meja belajar. Meski belum bisa mengisi semua ruang di meja itu, saya sudah merasa senang.

Waktu itu Pak Dhe juga merangkai meja itu. Seperti sebuah puzzle, jadi harus dipaskan antara bagian satu dengan lainnya. Lalu direkatkan dengan paku. Dimas kecil hanya menonton dan membayangkan bagaimana jadinya meja itu. Saat itu Pak Dhe Topo dibantu oleh Pak Dhe Hud. Mereka berdua yang merangkai meja belajar impian saya.

Saya masih sedikit ingat kata-kata Pak Dhe waktu itu, sesaat setelah meja belajar jadi. “Meja ini sudah bisa buat kamu belajar. Giatlah belajar supaya pintar”. Dimas kecil hanya mengangguk sambil terus menerus melihat meja belajar barunya.

Seiring berjalannya waktu, meja belajar itu terus menemani saya. Saya masih ingat saat akan ujian masuk perguruan tinggi. Meja belajar itu menjadi saksi bisu perjuangan saya. Setiap hari di meja itu, saya selalu belajar hingga pukul 11 malam, lalu bangun pukul 3 pagi. Saya lakukan terus menerus hingga hari ujian. Jam tiga saya lanjutkan sholat malam. Hingga kini saya masih terus melakukan rutinitas itu. Bedanya saya tidak lagi memakai meja itu lagi, karena saya sedang merantau. Meski demikian meja itu tetap utuh di rumah, dan juga tetap bisu atas perjuangan saya itu.

Saya memang gagal masuk universitas impian saya. Tetapi saya belajar banyak hal dari usaha itu. Saya menjadi siap untuk menghadapi tantangan dan terbentuk pola ibadah yang rutin. Di balik kegagalan itu, saya mencari hikmah yang tersembunyi di setiap kesedihan.

Selain meja itu, tentu ada kenangan lain.

Pak Dhe Topo punya kesenangan membaca buku. Konon di rumahnya di Jakarta, bukunya sampai berkardus-kardus. Koleksinya mulai dari segala macam buku. Ekonomi, kesehatan, politik semua ia punyai. Dia pun berlangganan majalah TEMPO, majalah favorit saya. Tapi saya belum pernah ke rumahnya lagi. Terakhir kali waktu, Mbak Vika menikah. Kalau tidak salah ingat sewaktu saya masih SMP.

Kegemarannya membaca buku membuat pengetahuannya luas. Setiap hari Raya Idul Fitri, ketika family gathering Pak Dhe selalu memberikan sambutan. Isinya bisa tentang segala hal. Paling sering tentang ekonomi negeri ini. Saya selalu menanti hingga Pak Dhe bicara. Pikirannya terbuka dan sangat luas.

***

Pak Dhe sudah masuk rumah sakit hampir setengah tahun kebelakang. Saya sendiri yang belum sempat menjenguk. Selama waktu itu, saya harus menetap di Temanggung. Keluarga saya sudah menjenguk semua. Sempat ibu saya mengajak untuk menjenguk pertengahan Januari lalu. Namun belum sempat terlaksana.

Kini keinginan saya itu hanya sebatas keinginan tanpa ada lagi kesempatan untuk merealisasikannya. Beliau akan dimakamkan besok pagi. Saya akan terus mendoakan supaya beliau berada di Sisi Terhormat oleh Sang Maha Kuasa. Semoga besok saya bisa mengantarkannya.

Saya akan selalu merindukan ketegasannya dan cara pandangnya tentang semua hal.

Selamat Jalan Pak Dhe Topo...


Malam hari setelah kabar itu | 12 Februari 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini