BEBERAPA hari lalu saya sempat kebingungan mencari kawan untuk ikut sebuah pelatihan di Bekasi. Bukan karena saya orang yang sedikit kawan, tapi karena sebagian besar kawan saya sudah kembali ke kampungnya atau merantau di daerah lain. Disaat-saat seperti itulah saya mulai membuka kembali daftar kontak nomor di handphone saya. Ada satu nama yang muncul, dan membuat pikiran saya terbang mundur ke satu tahun yang lalu.
BERUSAHA
Saya mencoba mengirimkan sebuah pesan teks. Sempat ragu juga karena sudah beberapa kali pesan saya tak terbalas. Saya teringat bahwa kawan saya ini sangat berminat bila diajak mengikuti sebuah pelatihan. Mungkin dia-lah kawan perjalanan saya nantinya. Pesan telah saya kirimkan. Dan tidak ada balasan hingga berjam-jam berikutnya.
Hingga akhirnya balasan itu datang juga. Batin saya seakan langsung berteriak, inilah saatnya mengajaknya!. Sebelumnya, pelatihan yang akan saya ikuti ini sangat menarik. Selain karena berkaitan dengan karir yang menjadi mimpi saya, juga karena biaya peserta yang masih tergolong miring. Hanya masalahnya ada di jarak. Bekasi jelas tempat yang sangat asing bagi saya.
Kami saling berbalas pesan, tapi karena pesan teks dirasa kurang greget, kawan saya itu justru langsung menelpon. Via telponlah, saya mendapatkan sebuah pelajaran penting..
Kawan saya ini bercerita tentang semua pengalamannya. Pengalaman setelah kami tidak bertemu tentunya. Sudah hampir setahun lamanya sejak kelulusan kami dulu. Ia menceritakan betapa mencari pekerjaan itu bukanlah sesuatu yang mudah. Pengalaman mendaftar kesana kesini ia ceritakan dengan nada suara, yang menurut saya, penuh emosi. Emosi yang saya maksudkan bukan marah, tetapi lebih ke sebuah ungkapan perasaan perjuangan. Sebuah kegigihan atas suatu hal yang telah dilewati.
Bisa saja kita mendapatkan hal yang kita impikan itu, tapi harus melewati jalan berliku terlebih dahulu.
Ia menceritakan bahwa ia telah mendaftar di berbagai tempat. Mengikuti seleksi di sana-sini. Bahkan hingga ia dimarah-marahi oleh user (pemilik perusahaan/lembaga). Ia mengungkapkan masalahnya hanya satu; pengalaman. Ya mendapatkan pengalaman kerja itulah yang menjadi handicap bagi beberapa para freshgrade, termasuk saya. Selain itu, ia juga sempat frustasi karena melewati periode yang lama dalam mendapatkan pekerjaan. Hampir satu tahun ia masuk kategori jobless.
Meski keadaan semakin mendesaknya, ia tetap optimis. Kata-kata yang saya ingat dari dirinya, “Aku tahu Dim, semua butuh proses. Aku optimis tetap dapat (pekerjaan)” ujarnya dengan suara mantap. Kini, ia sudah bekerja di sebuah agen penjualan perumahan. Memang bukan pekerjaan impian, tapi itulah hidup. Tidak semua yang kita inginkan, kita dapat. Bisa saja kita mendapatkan hal yang kita impikan itu, tapi harus melewati jalan berliku terlebih dahulu.
Pembicaraan telpon kami mesti berakhir juga. Dipenutup saya mendoakan semoga karirnya meningkat. Siapa tahu, 3-5 tahun kedepan kawan saya ini sudah menjadi penjual handal perumahan elit. Nasib orang siapa yang bisa sangka. Dalam benak, saya selalu meyakini tidak ada usaha yang “tak terbayar”. Kawan saya ini mungkin sedang “tercebur” di sebuah “kolam lumpur”, tapi saya yakin dia akan berenang di sebuah “kolam dengan air yang sangat bening”.
Saya tambahkan lagi, kawan saya ini bukanlah “orang biasa”. Dia sosok yang ramah dan berparas ganteng. Tubuhnya juga ideal. Jadi menurut saya, ia pantas juga jadi artis di tipi-tipi. Selain fisiknya, ia punya pengalaman memenangi perlombaan desain grafis tingkat internasional. Bahkan terakhir yang saya tahu, ia memenangi perlombaan desain logo X-Factor Singapura. Hadiahnya, selain logonya dipakai untuk acara itu, ia mendapatkan hadiah uang dengan satuan dollar. Saya semakin geleng-geleng ketika ia mengatakan belajar desain itu secara otodidak. Mandiri. Dia selalu mencoba ikut lomba, pertama, kedua, ketiga, selalu gagal. Tapi setelah itu, ia selalu menang. Disitulah saya belajar, kawan saya ini bukanlah “orang biasa”. Dia sosok yang pantang menyerah.
BERKELUH KESAH...
Dilain waktu sebelum pembicaraan itu, saya menemui beberapa orang yang berbeda. Dari beberapa orang itu lagi-lagi saya mendapatkan pelajaran. Itulah hidup, caranya menikmati adalah terus belajar. Terutama belajar dari manusianya.
Waktu saya menemui seorang kawan saya itu, keadaan saya juga sedang jobless. Tempat pekerjaan saya sebelumnya telah mencapai masa maksimal kontrak. Masih ada peluang perpanjangan kontrak, tapi itu pun bakal mungkin terjadi di bulan Maret. Jadi dalam keadaan tidak menentu itu, saya harus kembali membuka laman lowongan pekerjaan lagi.
Nah disaat itulah saya bertemu dengannya. “Kamu dimana sekarang, Dim?”, tanyanya. Saya paham maksud dari pertanyaan itu. “Oh sedang cari-cari lagi, kemarin habis kontrak,” jawab saya pelan. “Haha berarti kita sama... sedang ngangg*r” balasnya lagi. “Sulit ya.. Nyerah deh.. Mau nyari dimana lagi? Gagal terus...” balasnya lagi.
Seorang yang saya temui lainnya justru bercerita begini. Setelah ia lulus, ia langsung mendapatkan pekerjaan. Bahkan pekerjaan impiannya. Selain itu gaji yang dia dapatkan, bila membandingkan dengan yang saya dapat, pun tergolong wah. Namun apa yang ia katakan selanjutnya, “Ah bosan, saya ingin cari pekerjaan lain saja. Yang gajinya lebih tinggi,” ungkapnya enteng.
Meski saya dalam keadaan yang “tidak menyenangkan” itu, saya tetap tidak mau mengucapkan kata-kata itu.
Saya hanya membalas tersenyum. Dan tertegun. Yang membuat saya tertegun, pada kasus pertama, saya tidak pernah berani atau mencoba mengalihkan penggunaan kata negatif. Seperti kata “mengangg*r” itu. Bahkan saya tidak berani menuliskannya atau mengartikan ke bahasa indonesia jika tertulis di artikel ini. Meski saya dalam keadaan yang “tidak menyenangkan” itu, saya tetap tidak mau mengucapkan kata-kata itu. Saya tahu apabila mengucapkannya akan membentuk beban mindset negatif di pikiran.
Kedua, saya menyayangkan pikiran yang langsung mudah menyerah. Seakan tidak ada pilihan lain. Hidup itu memang berserah kepada ketetapan Yang Kuasa, tapi bukan berarti berserah diri begitu saja. Usahakan sampai titik penghabisan. Sekali lagi, pikiran menyerah juga termasuk cara pikir yang merusak.
Ketiga, untuk kasus yang kedua. Ia telah mendapatkan pekerjaan yang didambakan. Bahkan tanpa perlu pergi ke lima kota besar seperti saya. Tanpa perlu tidur di emperan masjid dan mandi di pom. Tanpa perlu pula merasakan rangkaian psikotes dan deretan pertanyaan sadis oleh para user. Eh setelah dapat pekerjaan itu, bukannya menghargai tapi justru kurang puas dan terus kurang puas. Saya banyak menemukan contoh lain seperti itu. Di situ kadang saya merasa sedih. Kenapa tidak bisa menghargai dan bersikap profesional pada pekerjaan? Apa iya karena perjuangan yang terlalu enteng?
Kenapa tidak bisa menghargai dan bersikap profesional pada pekerjaan? Apa iya karena perjuangan yang terlalu enteng?
AKHIRNYA..
Saya tetap meyakini, bahwa hidup itu perlu proses. Saya juga pernah mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Saya sudah pernah ke Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo, dan Jogja. Saya juga sudah merasakan bagaimana rasanya semalaman di jalan. Mandi di pom bensin, hingga hanya menginap di sebuah masjid. Maklum, masa pencarian itu harus hemat-hemat pengeluaran. Saya menggunakan uang simpanan selama saya kuliah dulu. Saya memang gagal di tempat-tempat itu, tapi saya belajar. Pasti ada yang bisa saya ambil dari semua yang dilalui ini.
Akhirnya saya mendapatkan pekerjaan di Temanggung, lalu kini kembali lagi ke UAD. Almamater saya. Semua serba aneh. Seakan untuk mendapatkan kedua pekerjaan itu, ada saja jalannya. Terasa lebih mudah saja. Saya bertemu kembali dengan direktur unit pelayanan psikologi di sebuah acara temu alumni. Gayung bersambut, saya justru ditawari pekerjaan lagi.
Nah untuk sekelompok kawan yang terjangkit mindset negatif, melihat saya sebagai orang yang beruntung. Kog bisa Dimas kembali lagi ke kampus? Enak sekali dia. Ada yang demikian.
Mereka ini tidak memahami proses. Saya juga sempat merasakan di titik terbawah dalam kepercayaan diri. Saya juga sempat sangat putus asa. Perlu dicatat, proses yang saya lalui tidaklah mudah. Sering saya termenung di dalam bus antarkota yang mengantarkan saya ketempat seleksi.
Di saat yang terbawah itulah saya harus semakin dekat dengan Yang Maha Kuasa. Saya teringat kata-kata dosen. Rajinlah sholat dhuha dan tahajud. Supaya lebih mendekatkan diri dan berserah. Saya mencoba melakukan amalan itu. Selalu meminta petunjuk dan bantuan atas permasalahan yang sedang dihadapi.
Alhamdulillah yang saya rasakan hidup itu terasa ringan. Misalkan setelah habis seleksi, tidak perlu merasa risau, semua langsung diserahkan kepada-Nya saja. Saya tetap optimis, tetapi juga bersiap terhadap kemungkinan terburuk. Penolakan bukanlah hal yang enteng diterima, tetapi kita bisa melatih diri untuk menerimanya.
Ketika Anda bisa menerima, anda akan mendapatkan jawaban dari doa-doa Anda.
Semua orang pasti pernah merasakan kegagalan. Lewat kegagalan membuat kita sadar siapa diri kita dan terus memperbaiki kekurangan. Lewat kegagalan pula, kita jadi punya cerita. Sebuah cerita jika kita pernah berjuang. Bila Anda telah berhasil, kelak Anda akan menghargai keberhasilan itu.
Semakin berjalannya waktu, pilihan akan selalu datang berganti. Disetiap pilihan itu ada sebuah tanggung jawab. Take or leave it. Jika Anda berani mengambil keputusan itu, maka selanjutnya you have to responsible it.
Itulah yang saya rasakan, semoga kawan lama saya semakin lancar karirnya. Sedangkan untuk kawan-kawan lain, yang masih berusaha, segera didekatkan dengan pekerjaan atau impiannya. Semua itu hanya sekedar masalah waktu. Anda pasti bisa... []
Di sebuah malam
yang gaduh di kosan | 24 Februari 2015
Revisi 1 : -
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.