By: Bitstrips | Dimas Y. Langgeng |
AKHIR-AKHIR ini saya mulai banyak merenung. Merenungi semua hal yang sudah terlewati dan membayangkan langkah untuk semua hal yang akan saya lewati. Pertama, saya mulai menyadari bahwa setiap hal yang telah saya lewati itu ternyata memang benar-benar memberikan saya “pelajaran hidup”. Yang tidak bisa tidak, memberikan dampaknya kepada saya. Dalam hal ini, saya maksudkan dengan sisi personal saya sendiri. Kedua, untuk melewati hal yang ada di depan, kita ini perlu rencana. Perlu “kekuatan” dan “dorongan”. Bukan hanya berasal dari diri sendiri, tetapi juga dari sisi lingkungan disekitar hidup kita.
Pengalaman dari Seorang Kawan...
Ijinkan saya menjelaskan maksud tulisan saya ini dari poin pertama. Saat ini saya sudah masuk ke usia 24. Sebuah usia yang bagi saya akan penuh dengan tantangan. Setiap tantangan yang akan saya hadapi itu, jelas memerlukan strategi yang berbeda. Disini saya dituntut untuk beradaptasi.
Saya telah mengalami beberapa hal yang menurut saya menarik untuk saya bagikan. Pertama, saya akan ceritakan tentang pengalaman saya belum lama ini. Ketika saya bekerja di Temanggung. Waktunya kira-kira sekitar tiga-empat bulan yang lalu.
Salah seorang kawan saya, mengatakan dia telah memiliki pengalaman yang “menakjubkan”. Ia mengatakan pernah bekerja di sebuah perusahaan tambang multinasional di Papua. Disana ia dapat memperoleh uang setidaknya lebih dari enam puluh juta rupiah. Bayangkan uang sebanyak itu untuk memberi gaji seorang fresh graduate! Jelas itu sangat mengagumkan bagi saya.
Tetapi, cerita tentang hidup itu bukanlah disisi yang “menyenangkan”. Cerita itu sepertinya, entah mengapa, seolah-olah muncul dari sisi yang berseberangan. “Memprihatinkan”. Namun meski demikian didalamnya tetap ada nilai “Menginspirasi”.
Begini, setelah kawan saya itu selalu mendapatkan uang yang “berlebih” itu, seakan ia melupakan satu poin hidup. Poin itu yang saya maksud adalah “Masa Depan”. Uang gaji yang ia dapatkan memang selalu diberikan untuk kedua orang tuanya, memberikan tambahan uang jajan adik-adiknya, bahkan untuk kakek neneknya. Dalam benak saya, perilaku itu semua jelas sangat mulia. Saya sendiri, hingga dapat uang dari gaji sendiri, belum sempet jajanin kedua ortu saya. Maklum saya masih harus berhitung untuk kehidupan saya sendiri di rantau. Gaji saya itu belum banyak-banyak amat. Tetapi setiap kawan saya bercerita tentang dirinya yang selalu mampu membahagiakan keluarga besarnya, yang ada di dalam benak saya adalah, “Kapan saya diijinkan untuk bisa juga membahagiakan keluarga saya sendiri.”
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, setiap cerita manis, pasti ada bagian asinnya juga. Kawan saya itu menambahkan bahwa saat itu ia juga sering menghamburkan uang dengan sangat mudah. Kalau saya ingat nominalnya saja sudah bikin geleng-geleng kepala. Tapi “penghamburan” itu saya kira masih dalam tahap wajar. Tidaklah sampai tahap “keterlaluan”.
Yang ada kini katanya, uangnya dari hasil kerja di Papua sudah tidak bersisa. Masih ada, tetapi tidak sebanyak nominal gajinya. Bahkan jika gajinya di kumulatifkan saja pun tidak sampai. Semuanya menipis. Hingga ia pernah berkata, bahwa dirinya menyesal kenapa dulu uangnya tidak di investasikan. Beli tanah atau apa yang bisa dijadikan uang. Atau seandainya ia dapat merencanakan keuangannya secara bijak.
Sebuah Pelajaran
Saat kawan saya bercerita pengalamannya, saya lebih banyak mendengar. Terkadang mendengar lebih menyenangkan daripada berkata. Cerita yang kita dengar itu seakan langsung masuk ke otak, dan diolah untuk “dirasakan”.
Jujur saya ini orangnya memang senang merefleksikan kisah orang lain. Dalam benak saya, selalu ada pertanyaan, “Bagaimana jika saya ada di posisinya?”, “Apa saja perasaan yang bakal saya rasakan?”. Perasaan inilah yang membuat saya selalu dalam posisi yang netral jika seseorang meyatakan pendapat. Bila kebetulan pendapatnya berseberangan, maka saya akan “ditengah”. Namun saat sependapat, saya tetap “ditengah”.
Saya lebih senang mengamati. Mengamati itu perlu “dua mata dan dua telinga”. Sedangkan, berkata itu hanya memerlukan “satu mulut”. Saya memilih mengamati.
Saya itu tidak senang menanggapi suatu hal tanpa perlu dipikirkan terlebih dahulu. Saya perlu waktu. Sebuah jeda. Jadi setelah kawan saya selesai menceritakan pengalamannya itu dan pulang. Di malam harinya, saya menganalisisnya.
Jelas setiap orang memiliki pengalamannya masing-masing. Dan secara masing-masing pula setiap orang menghadapinya.
Dari kisah kawan saya itu, saya memegang satu kunci. Kuncinya adalah “Perencanaan”.
Hidup itu memang tidak bisa diterka “kehendaknya”. Ia terus berjalan, tanpa mau mengkonfirmasi “kehendaknya”. Kita sebagai manusia hanyalah “penumpang”.
Saya kira perumpamaan “penumpang” itu tidak berlebihan. Tetapi disini kita harus menjadi “Penumpang” yang “pintar”. Yakni dengan perencanaan. Dimana dia harus naik, lalu turun. Dan juga waktu yang tepat untuk melakukan keduanya. Jelas kita tidak mau kan jadi penumpang yang “kelewatan stasiun”?
Memang semua cerita kawan saya itu telah berlalu. Tetapi nilainya tetap bisa saya rasakan.
Kedepan
Kawan saya itu kini mulai rajin menabung. Dia selalu menyisihkan uangnya untuk ditabung. Tidak jarang ia mengajak saya untuk sekedar menemaninya ke Bank. Ia mengatakan semakin bertambahnya usia, semakin perlu banyak pertimbangan.
Saya mendengarkan kata-katanya itu.
Ia kini berusia dua tahun diatas saya. Dan menurutnya, di usianya itu, sudah waktunya untuk memikirkan tentang “pernikahan”.
Hal itu pulalah yang akhirnya, tidak bisa tidak, mempengaruhi Program Rencana Jangka 3 Tahun saya. Saya harus mempertimbangkan untuk memasukkan opsi itu. “Pernikahan”. Menulis kata itu saja sudah sangat membuat saya lemas...
Kini saya belajar, hidup itu harus terukur. Di usia setahun yang lalu, saya anggap sebagai “try out”. Saya masih dalam tahap “mencoba”. Kini saatnya melewati “Ujian” yang sesungguhnya.
Saya memang sudah sangat rinci dalam memperhitungkan uang. Tetapi sepertinya perlu diperinci kembali. Saya tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di depan. Yang saya perlukan adalah mempersiapkan segalanya.
Saya harus mengejar waktu, hingga ia yang mengejar saya..
Saya harus meningkatkan kualitas diri, hingga dunia mengakui saya..
Dan..
Saya harus lebih bijak, tenang, dan taktis untuk menghadapi ujian itu.
Di kamar dengan suara dengkuran saudara kembar saya | 21 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.