Langsung ke konten utama

Pembaca Hati

Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan menceritakan pengalamannya ketika mengikuti proses interview di sebuah perusahaan. Ia bercerita tentang suatu hal yang menarik perhatian saya. Bukan karena proses interview-nya, namun lebih kepada sang interviewer.

Kawan saya saat itu diinterview oleh seorang dokter. Karena ia melamar di posisi perawat, maka interviewer user-nya adalah dokter langsung. Nah ketika baru masuk ke ruangan dan belum dipersilahkan duduk, kawan saya langsung ditodong sebuah pertanyaan, yang menurut saya cukup mengejutkan.

Si dokter mengatakan, “Saya sudah tahu bagaimana pikiran dan kepribadian Anda.” Si dokter melanjutkan, “Silahkan duduk.”

Mendengar bagian awal kisah itu saya langsung berpikir. Hebat sekali si “dokter” ini, ia bisa membaca pikiran orang secara langsung. Tidak hanya pikiran, tetapi juga kepribadian. Saya yang memiliki basic pendidikan di ilmu psikologi pun harus melalui beberapa tes untuk mengetahui kepribadian orang. Itu pun perlu pengalaman panjang untuk menjadi tepat.

Nah selanjutnya, kawan saya menceritakan apa yang dikatakan oleh si dokter selanjutnya memang benar semua. Sesuai dengan gambaran kepribadian kawan saya itu.

A Gift

Saya sampai detik ini belum pernah bertemu dengan orang-orang yang demikian. Orang yang memiliki kelebihan untuk membaca pikiran dan kepribadian orang lain. Atau mungkin, saya pernah bertemu, tapi ia tidak mengaku atau memilih diam. Mungkin saja.

Lalu, saya membayangkan sekali lagi, bagaimana jadinya kalau saya benar-benar bertemu dengan “orang-orang” itu. Saya menyebut mereka, para “pembaca pikiran”. Apa yang akan dibaca mereka dari diri saya ini? Saya mengakui masih banyak hal dalam diri saya yang menjadi kelemahan. Hingga saya berusaha untuk terus menjaganya dalam ‘ketertutupan’.

Beruntung sampai saat ini saya masih bisa menutupi kelemahan saya itu. Kelemahan yang telah menumpuk di dalam diri. Sembari menutupi, saya juga terus memperbaiki diri. Meski sepertinya progress perbaikan ini terus berjalan setahap-demi-setahap. Saya tidak tahu bagaimana jadinya, jika dalam keadaan yang masih berjibun akan kelemahan ini akhirnya “terbaca” oleh orang lain. Bisa malu sekali rasanya.

Saya berpendapat adanya ‘pembaca pikiran’ juga merupakan suatu pengawas. Ya mereka yang telah diberikan kelebihan (gift) seakan memberikan awareness bagi orang-orang awam, seperti saya, untuk terus memperbaiki diri. Melalui orang-orang itu, saya harus terus ‘bercermin’ kembali, sebarapa baik dan buruknya diri saya.

Meski saya belum pernah bertemu orang-orang seperti mereka, tapi saya cukup belajar dari pengalaman dari kawan saya. Saya harus terus memperbaiki diri. Dan juga mengurangi kekurangan yang ada dalam diri. Saya terus berusaha untuk menata pikiran dan hati melalui tindakan yang saya lakukan setiap hari. Melalui hal-hal kecil terlebih dahulu. Saya meyakini semua hal besar pastilah berawal dari hal-hal kecil.

Bukankah sebuah gunung yang akan meletus, pasti diawali dengan gempa skala kecil dan suhu udara yang menghangat terlebih dahulu?

Jika kelak saya bertemu dengan orang-orang gifted itu, saya sudah siap menghadapi mereka tanpa menggunakan “topeng” lagi. Untuk saat ini saya masih berusaha.

DIMAS Y. LANGGENG | TEMANGGUNG | 08 NOVEMBER 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini