Saya akan berbagi pengalaman lagi. Kali ini tentang pengalaman saya saat mengikuti sebuah seleksi psikotes sebuah perusahaan niaga terbesar di negeri ini. Saat itu, ibu HRD membuka sesi dengan memperkenalkan sekilas profil perusahaan. Semua peserta, yang kira-kira jumlahnya 70 orang menyimak dengan seksama presentasi dari HRD itu.
Si ibu HRD ini kebetulan sedang mengandung. Jika diamati kira-kira usia kandungannya sudah masuk bulan keenam. Itu perkiraan saya. Meski sedang mengandung, si ibu ini tetap semangat dalam melaksanakan tugasnya. Melakukan seleksi rekrutmen.
Di tengah-tengah presentasi, tiba-tiba ia melempar sebuah pertanyaan ke seluruh peserta. Pertanyaannya simpel. Ia menanyakan, “Siapa yang tahu maksud kata ‘integritas’?! Dengan suara tinggi, ia melontarkan pertanyaan itu ke seluruh peserta. Butuh sekitar 3-5 detik, sampai seseorang menjawab pertanyaan itu.
Sesaat setelah pertanyaan itu dilontarkan, pikiran saya (lagi-lagi) terbang kesana-kemari. Saya jelas tidak asing dengan kata ‘integritas’ ini. Di beberapa jenis tes inventori, kata ‘integritas’ hampir pasti masuk dalam salah satu aspek personal. ‘Integritas’ juga menjadi slogan kampus almamater saya. Bunyinya “Intelectual and Moral Integrity”. Yang dapat diartikan “Integritas Kecerdasan dan Moral”. Tapi hampir semua contoh yang didapatkan dari ‘pikiran terbang’ saya, kata ‘integritas’ tetaplah ‘integritas’. Saya kesulitan mencari arti definitif dari ‘integritas’ itu sendiri.
Renungan saya tiba-tiba pecah oleh suara si Ibu HRD lagi. “Ayo siapa yang bisa jawab?!” tanyanya dengan suara lebih tinggi. “Berarti dalam satu ruangan ini, gak ada yang ‘berintegritas’ nih?” tanyanya dengan nada sedikit menyindir. Ruangan tetap hening.
Karena kesal juga, si ibu HRD akhirnya ‘menyerah’ juga. “Ya sudah, ini saya kasih tahu artinya ‘integritas’ itu,” ujarnya. Ia melanjutkan, “Integritas itu gampangnya ‘gak omong doang’. Jadi dapat dipegang kata-katanya”.
Yak itu dia arti sederhana dari ‘integritas’. Saya sebenarnya mau jawab seperti itu. Tapi, ah sudahlah... #ngeleslagi
Yakin
Semenjak itu, saya jadi selalu ingat tentang definisi integritas itu. Selain mengingat, jelas saya terus mencari contoh dari ‘integritas yang baik’. (Memangnya ada yang buruk?)
Saya ingat satu pengalaman lagi. Waktu itu, salah seorang kawan mengajak saya untuk pergi. Ya hanya untuk pergi keluar sejenak. Dia mengatakan kalau kawan-kawannya hanya suka bicara jika mereka bisa menemaninya pergi. Tapi belum pernah bisa dilaksanakan. Akhirnya, kawan saya itu mengajak saya untuk menemaninya. Diakhir ajakannya, ia menekankan, “Jangan omdo kamu lho Dim...!” Ternyata ‘omdo’ itu kependekan dari ‘omong-doang’. Saya akhirnya tetap bisa menepati janji saya itu.
Saat ini banyak yang menganggap menyepelekan integritas itu sebagai hal yang biasa. Maklum karena awalnya saja hanya berasal dari ucapan. Maka dari itu muncul istilah “hanya di bibir saja”. Maksudnya, kata-katanya hanya sampai di bibir, setelah itu hilang. Tidak membekas sebagai sebuah tanggung jawab.
Penyepelean ini saya yakini pasti berawal dari ketidakyakinan dari diri seorang individu untuk merealisasikan kata-katanya. Dia tidak mau dan mampu, untuk mempercayai dirinya sendiri. Jadi daripada kelemahan diri itu ‘terbuka’ secara gamblang, lebih baik ditutupi dengan ‘mengatakan ya’ meski pada akhirnya tak mampu.
Banyak contoh tentang ke-omong doang-an ini. Di dunia organisasi misalnya, ada saja anggota yang mengatakan, “Ya saya akan lakukan ini dan itu”. Nadanya menunjukkan sikapnya yang yakin. Tetapi pada akhirnya, dia sendiri yang melemparkan tanggung jawab.
Ada juga salah satu kasus yang saya temui sendiri. Waktu itu saya menginterview seseorang untuk bisa masuk di lembaga tempat saya ‘menimba ilmu’. Kita sebut saja “A”. Pada tataran sederhana, ia mengatakan dapat dipercaya dan mampu berdisiplin. Ditambah lagi, yakin bahwa dirinya mampu untuk berangkat tepat waktu dan menyelesaikan tugas-tugas lembaga yang kelak bakal diembannya.
Tetapi setelah dua bulan berlalu. Si A ini menunjukkan gelagat ‘kaum omong-doang’. Berangkat tidak tepat waktu, kerja asal. Ditambah suka mengeluh. Ini jelas bertolakbelakang dengan sikapnya disaat interview dulu.
Mengatasi
Saya sangat belajar dari pengalaman-pengalaman itu. Ada beberapa hal yang saya ingin bagikan kepada pembaca semua. Pertama, perilaku “omong-doang” itu tidak bisa dilihat diawal saat pertama bertemu. Tapi diperlukan pengamatan mendalam lanjutan dari perilaku harian si individu. Jadi kita harus waspada pada orang-orang yang hobinya berbicara besar. Salah satunya dengan mengamati apakah perilaku keseharian, memang benar-benar mencerminkan dirinya yang sebenarnya.
Kedua, berhati-hatilah dalam berbicara. Terutama saat akan ‘mengiyakan’ suatu janji. Anda perlu mengkalkulasikan ulang segala kemungkinan yang mungkin terjadi dalam usaha untuk merealisasikan kata-kata Anda. Dengan kata lain, lebih terukur dalam berkata. Jika tidak mampu, ya segera bilang “tidak”. Salah satunya, jika anda yakin mampu mengembalikan buku pinjaman tepat waktu, ya katakanlah “saya akan mengembalikan tanggal segini bulan depan”. Itu pernyataan yang terukur.
Ketiga, jika Anda terbukti sebagai individu yang hobi “om-do” maka akan sulit orang untuk percaya Anda. Orang lain akan melihat anda dengan kualitas tanggung jawab moral yang rendah. Dan itu saya yakin akan menyulitkan anda untuk mendapatkan kepercayaan orang kepada Anda.
Karena integritas bukan hal yang dapat secara instan dimiliki masing-masing individu, maka perlu pembiasaan. Pembiasaan yang dilakukan dimulai dari hal kecil dan dilakukan secara kontinu setiap hari. Mulai menjaga perkataan, amanah, dan janji. Meyakinkan diri untuk mampu merealisasikan ketiganya, akan membuat orang lain ‘melihat’ seberapa tinggi tingkat integritas kita. Lebih jauh lagi, sekiranya Yang Maha Kuasa akan menempatkan kita pada posisi orang-orang yang memiliki nilai individu diatas rata-rata.
Sekarang, maukah kita (termasuk saya) untuk meningkatkan kualitas integritas diri?
DIMAS Y. LANGGENG | TEMANGGUNG | 15 NOVEMBER 2014
Si ibu HRD ini kebetulan sedang mengandung. Jika diamati kira-kira usia kandungannya sudah masuk bulan keenam. Itu perkiraan saya. Meski sedang mengandung, si ibu ini tetap semangat dalam melaksanakan tugasnya. Melakukan seleksi rekrutmen.
Di tengah-tengah presentasi, tiba-tiba ia melempar sebuah pertanyaan ke seluruh peserta. Pertanyaannya simpel. Ia menanyakan, “Siapa yang tahu maksud kata ‘integritas’?! Dengan suara tinggi, ia melontarkan pertanyaan itu ke seluruh peserta. Butuh sekitar 3-5 detik, sampai seseorang menjawab pertanyaan itu.
Sesaat setelah pertanyaan itu dilontarkan, pikiran saya (lagi-lagi) terbang kesana-kemari. Saya jelas tidak asing dengan kata ‘integritas’ ini. Di beberapa jenis tes inventori, kata ‘integritas’ hampir pasti masuk dalam salah satu aspek personal. ‘Integritas’ juga menjadi slogan kampus almamater saya. Bunyinya “Intelectual and Moral Integrity”. Yang dapat diartikan “Integritas Kecerdasan dan Moral”. Tapi hampir semua contoh yang didapatkan dari ‘pikiran terbang’ saya, kata ‘integritas’ tetaplah ‘integritas’. Saya kesulitan mencari arti definitif dari ‘integritas’ itu sendiri.
Renungan saya tiba-tiba pecah oleh suara si Ibu HRD lagi. “Ayo siapa yang bisa jawab?!” tanyanya dengan suara lebih tinggi. “Berarti dalam satu ruangan ini, gak ada yang ‘berintegritas’ nih?” tanyanya dengan nada sedikit menyindir. Ruangan tetap hening.
Karena kesal juga, si ibu HRD akhirnya ‘menyerah’ juga. “Ya sudah, ini saya kasih tahu artinya ‘integritas’ itu,” ujarnya. Ia melanjutkan, “Integritas itu gampangnya ‘gak omong doang’. Jadi dapat dipegang kata-katanya”.
Yak itu dia arti sederhana dari ‘integritas’. Saya sebenarnya mau jawab seperti itu. Tapi, ah sudahlah... #ngeleslagi
Yakin
Semenjak itu, saya jadi selalu ingat tentang definisi integritas itu. Selain mengingat, jelas saya terus mencari contoh dari ‘integritas yang baik’. (Memangnya ada yang buruk?)
Saya ingat satu pengalaman lagi. Waktu itu, salah seorang kawan mengajak saya untuk pergi. Ya hanya untuk pergi keluar sejenak. Dia mengatakan kalau kawan-kawannya hanya suka bicara jika mereka bisa menemaninya pergi. Tapi belum pernah bisa dilaksanakan. Akhirnya, kawan saya itu mengajak saya untuk menemaninya. Diakhir ajakannya, ia menekankan, “Jangan omdo kamu lho Dim...!” Ternyata ‘omdo’ itu kependekan dari ‘omong-doang’. Saya akhirnya tetap bisa menepati janji saya itu.
Saat ini banyak yang menganggap menyepelekan integritas itu sebagai hal yang biasa. Maklum karena awalnya saja hanya berasal dari ucapan. Maka dari itu muncul istilah “hanya di bibir saja”. Maksudnya, kata-katanya hanya sampai di bibir, setelah itu hilang. Tidak membekas sebagai sebuah tanggung jawab.
Penyepelean ini saya yakini pasti berawal dari ketidakyakinan dari diri seorang individu untuk merealisasikan kata-katanya. Dia tidak mau dan mampu, untuk mempercayai dirinya sendiri. Jadi daripada kelemahan diri itu ‘terbuka’ secara gamblang, lebih baik ditutupi dengan ‘mengatakan ya’ meski pada akhirnya tak mampu.
Banyak contoh tentang ke-omong doang-an ini. Di dunia organisasi misalnya, ada saja anggota yang mengatakan, “Ya saya akan lakukan ini dan itu”. Nadanya menunjukkan sikapnya yang yakin. Tetapi pada akhirnya, dia sendiri yang melemparkan tanggung jawab.
Ada juga salah satu kasus yang saya temui sendiri. Waktu itu saya menginterview seseorang untuk bisa masuk di lembaga tempat saya ‘menimba ilmu’. Kita sebut saja “A”. Pada tataran sederhana, ia mengatakan dapat dipercaya dan mampu berdisiplin. Ditambah lagi, yakin bahwa dirinya mampu untuk berangkat tepat waktu dan menyelesaikan tugas-tugas lembaga yang kelak bakal diembannya.
Tetapi setelah dua bulan berlalu. Si A ini menunjukkan gelagat ‘kaum omong-doang’. Berangkat tidak tepat waktu, kerja asal. Ditambah suka mengeluh. Ini jelas bertolakbelakang dengan sikapnya disaat interview dulu.
Mengatasi
Saya sangat belajar dari pengalaman-pengalaman itu. Ada beberapa hal yang saya ingin bagikan kepada pembaca semua. Pertama, perilaku “omong-doang” itu tidak bisa dilihat diawal saat pertama bertemu. Tapi diperlukan pengamatan mendalam lanjutan dari perilaku harian si individu. Jadi kita harus waspada pada orang-orang yang hobinya berbicara besar. Salah satunya dengan mengamati apakah perilaku keseharian, memang benar-benar mencerminkan dirinya yang sebenarnya.
Kedua, berhati-hatilah dalam berbicara. Terutama saat akan ‘mengiyakan’ suatu janji. Anda perlu mengkalkulasikan ulang segala kemungkinan yang mungkin terjadi dalam usaha untuk merealisasikan kata-kata Anda. Dengan kata lain, lebih terukur dalam berkata. Jika tidak mampu, ya segera bilang “tidak”. Salah satunya, jika anda yakin mampu mengembalikan buku pinjaman tepat waktu, ya katakanlah “saya akan mengembalikan tanggal segini bulan depan”. Itu pernyataan yang terukur.
Ketiga, jika Anda terbukti sebagai individu yang hobi “om-do” maka akan sulit orang untuk percaya Anda. Orang lain akan melihat anda dengan kualitas tanggung jawab moral yang rendah. Dan itu saya yakin akan menyulitkan anda untuk mendapatkan kepercayaan orang kepada Anda.
Karena integritas bukan hal yang dapat secara instan dimiliki masing-masing individu, maka perlu pembiasaan. Pembiasaan yang dilakukan dimulai dari hal kecil dan dilakukan secara kontinu setiap hari. Mulai menjaga perkataan, amanah, dan janji. Meyakinkan diri untuk mampu merealisasikan ketiganya, akan membuat orang lain ‘melihat’ seberapa tinggi tingkat integritas kita. Lebih jauh lagi, sekiranya Yang Maha Kuasa akan menempatkan kita pada posisi orang-orang yang memiliki nilai individu diatas rata-rata.
Sekarang, maukah kita (termasuk saya) untuk meningkatkan kualitas integritas diri?
DIMAS Y. LANGGENG | TEMANGGUNG | 15 NOVEMBER 2014
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.