Dari satu KTT ke KTT lain, yang berubah hanya balutan kain yang dikenakan para kepala negara. Begitu kata anekdot. Bahkan, susunan kalimat komunike bersama Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Brisbane, 15-16 November, tak jauh berbeda dengan hasil akhir KTT G-20 pada 2013 di St Petersburg, Rusia.
Kalau begitu apa yang berubah? Orang tetap membayar pajak 10 persen untuk secangkir kopi, padahal perusahaan penjual kopi itu hampir tak membayar pajak, untuk menyebut sebuah contoh.
Itu karena perusahaan raksasa sekelas Starbucks, News Corps, Google, atau IKEA sengaja membuka kantor pusat di negara kecil semacam Luksemburg, Liechtenstein, atau Kepulauan Cayman. Keuntungan yang mereka sedot dari banyak negara hanya dipajaki 1-2 persen.
Ini jelas tidak adil. Belum lagi kalau menilik pajak-pajak lain, seperti pajak penghasilan orang per orang, yang di Australia mencapai minimum 30 persen.
Bagaimana membuat dunia ini lebih adil? Itulah salah satu topik yang dibicarakan 20 kepala pemerintahan yang mewakili 85 persen ekonomi dunia di Brisbane. Pengemplangan pajak dengan menyembunyikan kantor pusat di negara-negara kecil sama sekali tidak melanggar hukum, tutur Bessma Momani, analis Centre for International Gobernance Innovation.
“Hukum yang memungkinkan hal ini harus diubah. Pemerintah anggota G-20 punya kepentingan mengatur ulang praktik ini. Namun, untuk mengubahnya perlu waktu lama,” ujar Momani, satu dari puluhan pakar yang hadir di sela-sela KTT.
Kalau begitu, 10 KTT mendatang belum tentu berubah. Apalagi, anggota G-20 lebih tertarik meningkatkan pajak di negaranya daripada menghentikan “perampokan di negara-negara berkembang”, menurut Sameer Dosani dari Action Aid.
Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif Oxfam International, mengusulkan KTT pajak dunia mengikutsertakan negara berkembang. “Amat tidak fair kalau surga pengemplang pajak macam Luksemburg dilibatkan, tapi Sierra Leone yang terjangkit penyakit ebola tidak. Padahal, insentif pajak dari enam perusahaan multinasional berjumlah delapan kali anggaran kesehatan Sierra Leone,” tuturnya.
Walau anekdot di atas ada benarnya, tetap tidak sepenuhnya benar.
“Manfaat G-20 bagi penduduk miskin memang tak selalu jelas. Tetapi, jika krisis ekonomi berhasil diatasi, keadaan penduduk miskin tidak bertambah parah,” kata Momani.
“Jurang antara si kaya dan si miskin selalu melebar karena yang kaya menjadi lebih kaya. Namun, apakah keadaan si miskin lebih baik dari 10 tahun lalu, ya, saya kira benar,” katanya.
Momani juga merujuk pada fakta para pemimpin berdialog bersama sehingga komunikasi antar-mereka akan lebih mudah jika ada krisis. “Pertemuan para kepala negara ini ada nilai simboliknya, seperti juga kehadiran Indonesia di G-20. Penting bahwa Indonesia, sebagai bagian dari Asia Tenggara, secara simbolik ada di sana,” ujarnya.
Berdesakan
Selain pengemplang pajak, topik lain berdesakan untuk dibacarakan ialah seakan para pemimpin adalah pesulap yang bisa menyelesaikan semua persoalan dengan sabetan tangan. Termasuk di dalamnya kemiskinan, kesehatan, perubahan iklim, infrastruktur, investasi, korupsi, dan ebola sehingga sulit mencari relevansi G-20 setelah pertemuan.
Momani mengibaratkan, para pemimpin sadar banyak pipa yang bocor di rumah dan perlu kerja sama mengatasinya. “Tetapi, mereka tidak tahu cara memperbaiki pipa berusia 100 atau 200 tahun. Apakah harus membongkar semua dinding di rumah untuk menemukannya?”
“Saat merenovasi rumah, kadang kita lebih senang tidak tahu ada adap di balik dinding dan menganggap semuanya baik-baik saja. Sebab, saat kita tahu apa yang di balik dinding, kita akan berkata, ‘Ya, Tuhan’,” lanjutnya.
Salah satu pipa yang bocor itu adalah nilai aset 85 orang terkaya di dunia lebih banyak daripada milik 3,5 miliar penduduk miskin di dunia. Dalam setahun terakhir, kekayaan 85 orang ini meningkat 668 juta dollar AS per hari atau hampir setengah juta dollar AS per menit, menurut Oxfam.
Butir kunci lain dari KTT ini adalah janji setiap anggota mendongkrak produk domestik bruto mereka sehingga secara kolektif 2,1 persen lebih tinggi daripada proyeksi pada 2018. Hal ini berarti tambahan 2 triliun dollar AS pada ekonomi dunia, yang akan membuka lapangan pekerjaan bagi jutaan orang.
Namun, Dana Moneter Internasional (IMF) serta Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) kurang yakin target itu terpenuhi. Alasannya, hampir semua dari 800 uraian aksi yang akan diambil–termasuk perdagangan, pemasaran produk, pasar tenaga kerja, perubahan iklim, infrastruktur publik, ebola, transparansi pajak, pertambangan, dan perbankan–merupakan hal baru.
IMF akan memonitor pelaksanaannya di setiap negara dan melaporkan kembali ke G-20.
Perubahan Iklim
Sebagai tuan rumah, Australia sedikit dipermalukan dalam isu perubahan iklim. Sejumlah negara memberikan sumbangan pada Dana Iklim Hijau untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi akibat perubahan iklim. Amerika Serikat menyumbang 3 miliar dollar AS dan Jepang 1,5 miliar dollar AS.
Tiga hari sebelum KTT G-20, Tiongkok dan AS, dua negara penghasil emisi karbon terbesar dunia, sepakat menurunkan volume emisi karbon dalam 15 tahun ke depan.
Australia sejak awal kurang setuju membicarakan perubahan iklim di G-20 dengan alasan ini adalah pertemuan ekonomi. Australia juga sudah mengeluarkan 2,5 miliar dollar AS dana domestik untuk tujuan sama dan menyiapkan 10 miliar dollar AS lagi. Tak ayal, Australia dilihat seperti tak sudi bekerja sama dalam soal ini.
Kecewa atas sikap pemerintah, 400 demonstran di Sydney, 1.000 kilometer selatan Brisbane, membenamkan kepala mereka ke pasir Pantai Bondi.
Di Brisbane, protes yang dikhawatirkan mengundang kerusuhan ternyata tak terjadi. Namun, unjuk rasa selama dua hari pertemuan yang melibatkan 2.000 demonstran termasuk yang terbesar di Brisbane.
Sebelumnya beredar isu rencana penyerangan terhadap polisi dan gedung-gedung mewah. “Mereka mengadakan pertemuan yang buntutnya akan mengorbankan kita,” kata seorang demonstran dalam orasinya merujuk pada pemimpin G-20.
“Mereka bicara soal pertumbuhan 2 persen, seolah-olah itu satu-satunya hal terpenting,” kata pengunjuk rasa lain.
Tahun depan, pertemuan puncak G-20 kembali bergulir dengan Turki sebagai tuan rumah. Di situ kita bisa melihat, apakah pajak secangkir kopi masih tetap sama. (*)
*Harry Bhaskara, Koresponden KOMPAS dari Brisbane, Australia | KOMPAS | 23 November 2014
Ini jelas tidak adil. Belum lagi kalau menilik pajak-pajak lain, seperti pajak penghasilan orang per orang, yang di Australia mencapai minimum 30 persen.
Bagaimana membuat dunia ini lebih adil? Itulah salah satu topik yang dibicarakan 20 kepala pemerintahan yang mewakili 85 persen ekonomi dunia di Brisbane. Pengemplangan pajak dengan menyembunyikan kantor pusat di negara-negara kecil sama sekali tidak melanggar hukum, tutur Bessma Momani, analis Centre for International Gobernance Innovation.
“Hukum yang memungkinkan hal ini harus diubah. Pemerintah anggota G-20 punya kepentingan mengatur ulang praktik ini. Namun, untuk mengubahnya perlu waktu lama,” ujar Momani, satu dari puluhan pakar yang hadir di sela-sela KTT.
Kalau begitu, 10 KTT mendatang belum tentu berubah. Apalagi, anggota G-20 lebih tertarik meningkatkan pajak di negaranya daripada menghentikan “perampokan di negara-negara berkembang”, menurut Sameer Dosani dari Action Aid.
Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif Oxfam International, mengusulkan KTT pajak dunia mengikutsertakan negara berkembang. “Amat tidak fair kalau surga pengemplang pajak macam Luksemburg dilibatkan, tapi Sierra Leone yang terjangkit penyakit ebola tidak. Padahal, insentif pajak dari enam perusahaan multinasional berjumlah delapan kali anggaran kesehatan Sierra Leone,” tuturnya.
Walau anekdot di atas ada benarnya, tetap tidak sepenuhnya benar.
“Manfaat G-20 bagi penduduk miskin memang tak selalu jelas. Tetapi, jika krisis ekonomi berhasil diatasi, keadaan penduduk miskin tidak bertambah parah,” kata Momani.
“Jurang antara si kaya dan si miskin selalu melebar karena yang kaya menjadi lebih kaya. Namun, apakah keadaan si miskin lebih baik dari 10 tahun lalu, ya, saya kira benar,” katanya.
Momani juga merujuk pada fakta para pemimpin berdialog bersama sehingga komunikasi antar-mereka akan lebih mudah jika ada krisis. “Pertemuan para kepala negara ini ada nilai simboliknya, seperti juga kehadiran Indonesia di G-20. Penting bahwa Indonesia, sebagai bagian dari Asia Tenggara, secara simbolik ada di sana,” ujarnya.
Berdesakan
Selain pengemplang pajak, topik lain berdesakan untuk dibacarakan ialah seakan para pemimpin adalah pesulap yang bisa menyelesaikan semua persoalan dengan sabetan tangan. Termasuk di dalamnya kemiskinan, kesehatan, perubahan iklim, infrastruktur, investasi, korupsi, dan ebola sehingga sulit mencari relevansi G-20 setelah pertemuan.
Momani mengibaratkan, para pemimpin sadar banyak pipa yang bocor di rumah dan perlu kerja sama mengatasinya. “Tetapi, mereka tidak tahu cara memperbaiki pipa berusia 100 atau 200 tahun. Apakah harus membongkar semua dinding di rumah untuk menemukannya?”
“Saat merenovasi rumah, kadang kita lebih senang tidak tahu ada adap di balik dinding dan menganggap semuanya baik-baik saja. Sebab, saat kita tahu apa yang di balik dinding, kita akan berkata, ‘Ya, Tuhan’,” lanjutnya.
Salah satu pipa yang bocor itu adalah nilai aset 85 orang terkaya di dunia lebih banyak daripada milik 3,5 miliar penduduk miskin di dunia. Dalam setahun terakhir, kekayaan 85 orang ini meningkat 668 juta dollar AS per hari atau hampir setengah juta dollar AS per menit, menurut Oxfam.
Butir kunci lain dari KTT ini adalah janji setiap anggota mendongkrak produk domestik bruto mereka sehingga secara kolektif 2,1 persen lebih tinggi daripada proyeksi pada 2018. Hal ini berarti tambahan 2 triliun dollar AS pada ekonomi dunia, yang akan membuka lapangan pekerjaan bagi jutaan orang.
Namun, Dana Moneter Internasional (IMF) serta Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) kurang yakin target itu terpenuhi. Alasannya, hampir semua dari 800 uraian aksi yang akan diambil–termasuk perdagangan, pemasaran produk, pasar tenaga kerja, perubahan iklim, infrastruktur publik, ebola, transparansi pajak, pertambangan, dan perbankan–merupakan hal baru.
IMF akan memonitor pelaksanaannya di setiap negara dan melaporkan kembali ke G-20.
Perubahan Iklim
Sebagai tuan rumah, Australia sedikit dipermalukan dalam isu perubahan iklim. Sejumlah negara memberikan sumbangan pada Dana Iklim Hijau untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi akibat perubahan iklim. Amerika Serikat menyumbang 3 miliar dollar AS dan Jepang 1,5 miliar dollar AS.
Tiga hari sebelum KTT G-20, Tiongkok dan AS, dua negara penghasil emisi karbon terbesar dunia, sepakat menurunkan volume emisi karbon dalam 15 tahun ke depan.
Australia sejak awal kurang setuju membicarakan perubahan iklim di G-20 dengan alasan ini adalah pertemuan ekonomi. Australia juga sudah mengeluarkan 2,5 miliar dollar AS dana domestik untuk tujuan sama dan menyiapkan 10 miliar dollar AS lagi. Tak ayal, Australia dilihat seperti tak sudi bekerja sama dalam soal ini.
Kecewa atas sikap pemerintah, 400 demonstran di Sydney, 1.000 kilometer selatan Brisbane, membenamkan kepala mereka ke pasir Pantai Bondi.
Di Brisbane, protes yang dikhawatirkan mengundang kerusuhan ternyata tak terjadi. Namun, unjuk rasa selama dua hari pertemuan yang melibatkan 2.000 demonstran termasuk yang terbesar di Brisbane.
Sebelumnya beredar isu rencana penyerangan terhadap polisi dan gedung-gedung mewah. “Mereka mengadakan pertemuan yang buntutnya akan mengorbankan kita,” kata seorang demonstran dalam orasinya merujuk pada pemimpin G-20.
“Mereka bicara soal pertumbuhan 2 persen, seolah-olah itu satu-satunya hal terpenting,” kata pengunjuk rasa lain.
Tahun depan, pertemuan puncak G-20 kembali bergulir dengan Turki sebagai tuan rumah. Di situ kita bisa melihat, apakah pajak secangkir kopi masih tetap sama. (*)
*Harry Bhaskara, Koresponden KOMPAS dari Brisbane, Australia | KOMPAS | 23 November 2014
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.