Langsung ke konten utama

Pertempuran di Kobani


September adalah bulan yang tidak bersahabat bagi penduduk kota Kobani. Kota yang terletak sekitar 135 kilometer sebelah timur laut Allepo dan persis di perbatasan antara Suriah dan Turki ini juga sering disebut Ayn al-Arab.

Sejak 15 September lalu, kota berpenduduk sekitar 45.000 orang itu dikepung kelompok bersenjata NIIS. Sebagian besar penduduk Kobani adalah orang-orang Kurdi, selain mereka ada komunitas agama dan etnik lainnya, termasuk Arab, Assiria, Armenia, Kristen Syriac, dan Turkoman. Ribuan warga Kobani, terutama anak-anak, orang tua, dan perempuan, sebelum kota dikepung sudah mencari selamat dengan menyeberang perbatasan masuk wilayah Turki.

Bukan tentara Bashar al-Assaad yang berjuang untuk menghadapi kelompok NIIS yang diperkuat tank dan kendaraan bersenjata lainnya, termasuk Humvee. Kendaraan dan mesin perang itu diperoleh NIIS antara lain ketika masuk dan menguasai Mosul, Irak bagian utara. Mereka merebut gudang persenjataan milik tentara Irak.

Bashar al-Assad dan tentaranya berada jauh di selatan, di Damaskus. Dan, wilayah utara, termasuk Kobani, ada di bawah kekuasaan etnis Kurdi. Mereka inilah yang bertempur menghadapi kelompok NIIS.

Mengapa NIIS bernafsu sekali merebut Kobani? Mutlu Civiroglu, dalam tulisannya di KurdishQuestion.com, berpendapat, inilah bagian dari strategi NIIS untuk menguasai wilayah utara. Setelah mereka merebut Mosul dan kota-kota Irak di wilayah utara, NIIS ingin memperluas ke wilayah Suriah sehingga wilayahnya membentang dari timur ke barat di kawasan kaya minyak.

Apabila Kobani benar-benar sudah mereka kuasai, langkah selanjutnya menyeberang ke wilayah Turki meskipun ini tidak mudah. Hal ini karena Turki pasti akan menutup perbatasannya dengan kekuatan miliiter.

"Menguasai Kobani begitu penting bagi kelompok NIIS. Sebab, apabila Kobani berhasil mereka kuasai, mereka akan dapat mengamankan jalan dari timur (wilayah Irak) ke Manbij, markas NIIS di sebelah timur Allepo," komentar Aron Lund, editor "Syria in Crisis", laman milik Carnegie Endowment for International Peace.

Apabila cita-cita itu terwujud, mereka bisa mengamankan jalur logistik di utara, dari barat hingga ke Irak. Apalagi kalau mereka berhasil menguasai perbatasan dengan Turki, mereka akan dapat mengontrol jalur perdagangan, penyelundupan minyak yang merupakan sumber keuangan mereka.

Yang lebih penting lagi, bentangan wilayah ini merupakan bagian dari "kekhalifahan baru" yang dideklarasikan 29 Juni lalu dibawah pimpinan Khalifah Ibrahim (Abu Bkr al-Baghdadi). Apakah gerak kelompok NIIS tidak akan bisa terbendung? Sejauh ini, memang, banyak kota di wilayah Irak Utara dan Suriah jatuh ke tangan NIIS meski gerak mereka dihambat oleh serangan udara kelompok sekutu pimpinan Amerika Serikat.

Tidak ada pillihan lagi bagi Turki,  Irak, dan Suriah selain bersama-sama dengan negara-negara lain menghadapi kelompok NIIS yang demikian brutal, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan impian utopis mereka. Pemerintah Damaskus sendiri, kini dapat dikatakan tak berdaya, selain menghadapi kelompok oposisi bersenjata, mereka juga harus menghadapi kelompok NIIS. Pemerintah Baghdad pun tak jauh berbeda. Krisis politik di Baghdad dan perseteruan sektarian yang belum bisa diselesaikan hanya membuat mereka semakin tak berdaya menghdapi kelompok NIIS.

Memang tidak mudah menghentikan gerak kelompok NIIS ini. Serangan militer saja tidak akan dengan cepat melumpuhkan kelompok NIIS kalau Pemerintah Baghdad masih tetap sektarian dan Pemerintah Damaskus tetap otoritarian. Inilah krisis regional (di Irak dan Suriah) yang berimplikasi global dengan terlibatnya banyak negara, dan bisa mengubah peta politik di kawasan Timur Tengah. []



Penulis : Trias Kencahyono

Sumber : KOMPAS | 08 Oktober 2014
Sumber Foto : theguardian

Komentar

Postingan populer dari blog ini