Langsung ke konten utama

Kepemimpinan Efektif

Ketika gaya blusukan menjadi populer, banyak orang menganggap gaya kepemimpinan ini paling efektif; bahkan secara ekstrem tidak ada gaya lain yang lebih efektif. Apakah benar gaya ini paling cocok dengan kondisi Indonesia saat ini tentunya membutuhkan pembuktian lebih lanjut.

ADA pemimpin yang efektif sampai sekarang dengan menggunakan gaya bersahabat, bahkan sedikit pemaaf, dan sangat menjunjung tinggi enggagement. Namun, pertanyaannya kemudian adalah bisakah gaya ini menjamin tim untuk tangguh menghadapi masa depan yang kian berat dan kompetitif dengan kekompakan saja? Ada juga pemimpin yang berusaha menggalakkan ide-ide inovatif dari anak buah, tetapi kita juga mempertanyakan apakah ide-ide kreatif itu sempat diimplementasikan dan dijaga kelanjutannya hingga membawa dampak pada perusahaan? Kita melihat bahwa gaya kepemimpinan yang tampaknya populer alias cool, bisa efektif atau bisa juga tidak. Semuanya tergantung pada bauran beberapa faktor yang ada untuk bekerja dalam situasi kinerja tertentu. Satu hal yang pasti adalah bahwa setiap pemimpin yang modern perlu sadar bahwa ia tetap harus bersiaga diri untuk penyesuaian, pembaruan, dan pengembangan sehingga bisa menjaga relevansi kinerjanya sesuai dengan situasi pasar.

Banyak orang yang bertanya-tanya apa rahasia sukses Dahlan Iskan melambungkan Jawa Pos. Atau juga Agung Adiprasetyo, si tukang koran dalam membawa si raksasa media melakukan beragam transformasi bisnisnya sampai ke bisnis perhotelan. Apa pula rahasia Jonan, tukang sepur, yang berhasil membuat PT KAI untung, pelanggan dan karyawan sama-sama happy? Yang jelas kita tidak bisa sekadar melihat gayanya atau bahkan hasil yang diproduksikan. Kesemuanya itu merupakan interelasi dari gaya dan sustansi tadi. Namun, yang jelas, pemimpin di situasi sekarang tidak bisa tenggelam dan tidak menonjolkan lagi.

Sebagaimana organisasi, pemimpin perlu menemukan competitive edge-nya, substansi yang menyebabkan dirinya efektif dan sustainable. Efektif pada masa lalu bukan jaminan efektif pada masa depan. Kita terkadang lupa bahwa kepemimpinan mau tidak mau adalah permainan survival of the fittest yang kejam; siapa yang kuat dan tahan, ia yang menang. Sebagai pemimpin kita perlu menyadari saat-saat bahwa keputusan-keputusan kita mulai tidak tepat, kuno, dan tidak connecting the dots, baik antara kerja tim dengan pasar, atau antara kompetensi dan perkembangan. Jangan sampai terlambat untuk menyadari bahwa kita sudah mulai kehilangan daya observasi dan selalu ketinggalan dalam melihat kesempatan. Atau, malah menjadi pemimpin yang mulai takut dicopot atau digeser–sehingga berkembang menjadi pribadi yang selfish, tidak bisa menerima masukan, sok tahu, dan bahkan merasakan kesepian karena tiba-tiba follower-nya berkurang. Karena pemimpin sebagaimana juga manusia lain yang ada di dalamnya adalah intangible asset perusahaan untuk belajar, berubah, dan berganti mindset. “Have a bit of personality” kata Karen Bosher, salah seorang pemimpin kelompok Mothercare, Inggris. Kita perlu berkepribadian menarik dan berani berpikir beda seperti industrialis Richard Branson, pendiri Virgin Records dan Virgin Atlantic Airways. “Beranilah bertanya, meminta maaf, dan bersuara keras,” katanya.

“Reinvert” diri

Suatu waktu bertemu seorang pemimpin yang tampaknya sudah senior alias berumur, tetapi memiliki mindset yang jauh lebih segar dari mereka yang berusia dibawahnya. Beliau sangat berani menghadapi perubahan, memandang perjalanan kariernya dan perusahaan sebagai perjalanan yang masih sangat panjang, bahkan mengungkapkan brutal facts yang dihadapi perusahaan dengan gamblang dan positif. Beliau dengan ringan mengatakan bahwa setiap hari yang dihadapi harus dianggap sebagai tantangan yang akan membawa perubahan, dan kita harus merespons untuk memperbaiki diri. Jadi, kita tidak perlu berusia muda untuk mampu berjiwa muda.

Kepemimpinan yang tahan lama adalah kemampuan bersikap proaktif terhadap perubahan pasar sehingga kita siaga untuk berubah, baik dalam pendekatan maupun sikap secara keseluruhan. Memang benar, kalau pemimpinnya tidak siap berubah, bagaimana pula ia bisa menggoyang, membelokkan organisasinya? Jadi, tidak ada salahnya kita lebih sering bertanya pada diri sendiri: Apakah gaya kepemimpinan saya sudah mulai usang? Bila ya, apa yang akan dilakukan untuk merubah pendekatan ini? kebiasaan apa yang harus dihentikan? Kebiasaan apa yang masih harus dipelihara? Juga, apa yang harus saya pelajari dan mulai biasakan?

Meredefinisikan efektivitas

Saat sekarang kita tidak bisa menerima pemimpin yang tidak bisa mawas diri dan tidak tahu kekuatan dan kelemahannya. Ia tidak bisa bermain dengan kekuatan yang ada didalam dirinya. Bila ia jago dengan angka, ia harus menuntut anak buah menyajikan angka-angka sebagai modal mengambil keputusan. Bila ia perlu mendengar banyak gambaran yang perlu diimajinasikan, sesi-sesi presentasi anak buah perlu digalakkan. Seorang pemimpin harus “Strengths Savvy” sembari memperhatikan apa lagi hal-hal yang masih bisa di-‘stretch’ dan dikembangkan karena kita tidak bisa lagi menerima seorang pemimpin yang tidak lentur.

Gambaran kita akan kemana perlu diperjelas, sering-sering dikaji kembali, disebut lagi, dan dibicarakan. Pemimpin sekarang harus mampu melakukan drafting and communicating sendiri. Tidak mungkin visi misi dibuatkan oleh orang lain atau timnya. Ia harus pandai menggambar dan menggambarkan apa yang ia mau, sambil tentunya memperhatikan aspirasi follower-nya. Pemimpin sekarang perlu sangat ‘human’ dan ‘socially conscious’. Hanya dengan kedalaman ini ia bisa menularkan kelenturan dan daya tahan untuk menghadapi kesulitan masa depan kepada anggota timnya.

Satu-satunya jalan untuk memenuhi tuntutan kepemimpinan zaman sekarang adalah sikap jujur, terutama pada dirinya sendiri. Hampir tidak satu pun pemimpin yang mengklaim gaya kepemimpinannya yang paling efektif. Faktor penentu kesuksesan yang menentukan memang sangat banyak. Yang jelas, seorang pemimpin perlu tetap autentik, dengan ketulusan niat dan rasa bangga karena sudah membina rasa percaya dan hubungan baik dengan anak buah. “The most valuable thing you have to offer is yourself. Don’t be affraid to be different. Be affraid to be the same”.

KOMPAS | 6 SEPTEMBER 2014
Gambar : google.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini