Langsung ke konten utama

Pekan Pertama di Temanggung

SUDAH sepekan saya tinggal di Kota Temanggung. Sebuah kota yang berdekatan dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Karena letaknya yang berada di daerah gunung, tentu semilir angin lebih terasa dingin. Disini, airnya pun dingin, meski di siang hari.

Sebelumnya selama empat tahun saya tinggal di Jogja. Disana saya menyelesaikan studi strata 1. Kini, selama masa kerja ini, saya tinggal di sebuah kamar kost di pusat kota Temanggung. Suasana tempat tinggal yang berbeda dan kota yang berbeda. Banyak hal yang dapat saya ceritakan di kota ini.

Pertama, soal kulinernya. Di Jogja hampir disetiap sudut kota pasti menjajakan berbagai macam kuliner. Mulai dari bakso, mie ayam, soto, hingga makanan khasnya gudeg. Semua dijual sesuai dengan harga kantong mahasiswa. Maklum, Jogja sendiri memiliki sebutan nama “Kota Pelajar”. Jadi wajar saja, jika soal kuliner, selalu pas dengan kantung mahasiswa. Kalaupun Anda dalam keadaan “kantung kering”, Anda bisa langsung pergi ke warung “Burjo”. Selain menyediakan bubur kacang ijo, ada juga menu macam nasi telur, sarden, hingga indomie.

Di Temanggung jelas berbeda. Kuliner tetap sama. Namun dengan harga yang berbeda. Ada beberapa warung tenda yang menawarkan harga yang cukup mengeringkan kantung. Saya sendiri pernah sial, karena masuk ke sebuah warung tenda yang menjajakan sepiring ayam goreng dan teh hangat, dihargai Rp 22.000,- Untuk harga sebuah makanan di warung tenda, jelas saya masukkan warung makan itu kedalam daftar “not recommended”.

Kedua, suasana kost. Di Temanggung alhamdulillah saya mendapat kost yang murah dan dengan lingkungan bersih. Hanya terdiri dari lima kamar dan semuanya diisi oleh pekerja. Semuanya diisi oleh para pekerja yang sudah memiliki keluarga. Hal ini jelas berbeda dalam segi kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Semua sadar untuk saling menghormati dan menjaga privasi masing-masing.

Karena semua sudah memiliki keluarga, kecuali saya, mereka semua pulang setiap akhir pekan. Jadi setiap jumat malam hingga minggu malam, hanya kamar saya yang masih menyala. Keadaan pun semakin sunyi senyap, karena rumah ibu kost juga hanya terdiri sepasang suami istri.

Meski demikian, hikmahnya saya dapat memperoleh ketenangan. Saya bisa memanfaatkan waktu sepi itu untuk menulis, membaca, atau mengevaluasi perilaku selama seminggu sebelumnya. Tanpa terganggu dengan kebisingan-kebisingan tetangga.

Ketiga, tentang bahan bacaan. Sebelumnya selama saya tinggal di Jogja, bukan hal yang sulit untuk mencari bahan bacaan. Bila ingin mencari buku, Anda tinggal pergi ke Gramedia, Social Agency atau pun ke Soping. Anda bisa mencari buku sepuasnya. Selain itu, jika ingin mencari koran atau majalah, ada banyak penjual koran. Bahkan saya punya tempat langganan koran di Jalan Kapas. Jalan menuju kampus 1 UAD. Saya biasa membeli koran KOMPAS, majalah TEMPO, mingguan BOLA dan Soccer disana. Bahkan tidak jarang saya mendapat potongan harga karena menjadi pelanggan tetap.

Tetapi setelah di Temanggung ternyata suasana berbeda. Awalnya saya cukup kesulitan mencari loper koran. Sempat bertanya kepada seorang kawan dimana letak los koran dan majalah terdekat. Tetapi hingga saat ini, toko yang dimaksudkan bahkan tidak pernah terbuka.

Selain itu, apabila Anda mencari koran lebih dari jam 07.00 bisa saja Anda telah kehabisan. Pernah saya mencari harian KOMPAS minggu, saya datang ke los koran kurang lebih pukul 07.05 WIB. Di los koran itu, yang dihari-hari lain selalu ada KOMPAS, justru sudah habis. Saya berkeliling kembali ke bagian barat, ternyata habis juga. Saya lanjutkan ke bagian timur, hasilnya tidak berbeda dengan di barat. Koran KOMPAS sudah habis. Padahal jam masih menunjukkan pukul 07.15 WIB! Aneh, tapi nyata. Mungkin pembaca koran di Temanggung lebih banyak daripada di Jogja, ataupun di kampung saya, Kebumen.

Meski banyak hal yang berbeda, tentu saya harus pintar-pintar beradaptasi. Hal-hal diatas mungkin hanya sebagian pengalaman menarik dan menantang yang belum seberapa. Tapi saya harus berusaha bagaimana menyikapinya. Bagaimana menyikapi koran yang habis sebelum pukul 07.00 WIB, memilih warung makan yang tidak mengeringkan kantong, hingga menentukan waktu yang tepat untuk mencuci baju.

Sebelumnya saya dikritik sebagai orang yang sulit untuk berubah. Selalu saklek dengan aturan dan perencanaan yang telah dibuat. Sulit menerima segala perubahan dan dinamika yang terjadi. Mungkin dengan pengalaman baru ini, saya dapat lebih “berdamai” dengan keadaan diri saya ini.

Mungkin memerlukan proses yang tidak sebentar, tapi setidaknya saya telah berusaha untuk berubah. (*)

Komentar

  1. kos temanggungnya didaerah mana kalo saya boleh tahu? Dan disitu berapa harganya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.

Postingan populer dari blog ini