Dia lebih suka menyebut dan menulis nama aslinya: Luke Pike. Berhasil, dan hampir tidak ada orang yang mengenalinya, bahkan ketika dirinya tampil sebagai pemain cadangan di sebuah klub amatir di Skotlandia.
Sehari-harinya dia pun bolak-balik ke kampus untuk mempelajari ilmu psikologi di Universitas Dundee, Skotlandia. Selain itu, dia mengumpulkan pengetahuan lain di bidang pelatihan sepak bola.
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Pike mengambil keputusan yang berani. Langkah yang diambilnya itu untuk menebus kesalahan masa lalunya sebagai Sony Pike - bocah ajaib yang sempat menghebohkan Inggris.
Pada 1991, saat umurnya masih 7 tahun, Sony - nama bekennya - menyedot banyak perhatian karena kemampuan bermain bola yang luar biasa. Dia disebut memiliki bakat setingkat George Best, legenda Manchester United, juga Diego Maradona.
Pike, yang sering tampil di televisi, kemudian membuat banyak klub datang melihatnya. Singkat kata, dia pun bergabung dengan Ajax untuk dijadikan pemain hebat.
Namun yang terjadi kemudian, di tempat pelatihan yang baru itu, ketahuan sisi lemahnya. "Dia bagus dalam banyak hal, tapi dia sangat lamban," kata seorang pelatih di sana.
Sebaris kalimat itulah yang mengubah segalanya. Hampir pada saat yang bersamaan, orang tuanya bercerai, membuatnya semakin terpuruk. "Saya berhenti berlatih. Semua membuat saya muak. Saya berhenti," ungkap Sony.
Pada 2000, ketika umurnya mencapai 16 tahun, dia membelokkan arah hidupnya, menekuni psikologi, yang bisa menyelamatkan anak-anak ajaib seperti dia.
Membeli pemain di saat usia belia lazim dilakukan klub-klub sepak bola di Eropa. Membeli bibit bagus adalah investasi di masa depan. Para pemandu bakat pun berkeliaran hingga ke ujung penjuru dunia, untuk mendapatkan bocah ajaib.
Yang paling gres, Real Madrid baru saja merekrut Takuhiro Nakai. Bocah berusia 7 tahun itu langsung dibawa ke Castilla, tempat penggodokan pemain muda klub itu. Sebelumnya, dua tahun yang lalu, Barcelona juga memasukkan Takefusa Kubo, yang berusia 11 tahun, ke akademi sepak bola La Masia.
Namun, seperti halnya Pike, tak semua anak ajaib itu memliki cerita yang - kata anak muda Jakarta - ajib atau indah. Cherno Samba, pemain yang akrab dalam permainan simulasi manajer, juga masuk kategori itu. Pemain asal Gambia itu, yang berkali-kali sempat memperkuat tim junior Inggris, berlabuh ke klub amatir.
Alih-alih menjadi pemain hebat dengan penghasilan berlimpah, Kane Jackson malah menjadi sopir. Padahal, saat berumur 6 tahun, bakatnya membuat legenda Manchester United, George Best, kesengsem.
Yang paling bersemangat justru Tony Jackson, bapaknya. Dia pun merekrut agen, pengacara, dan kontrak dengan sponsor. Ketika itu dia sudah dihargai dengan nilai kontrak 10 ribu pound sterling. Salah satu yang berminat adalah Leeds United.
Namun, pada saat beranjak remaja, semua itu semu. Jackson dikecewakan agennya. Dia pun mundur dari sepak bola. Bertahun-tahun kemudian, dia menjalani pekerjaan sebagai sopir mobil boks perusahaan obat. Pendapatannya selama setahun, 18 ribu pound sterling.
Ross Gardner - sekarang 30 tahun - adalah bocah ajaib yang bernasib nahas. Pada usia 9 tahun, dia sudah bergabung dengan Newcastle United dan menjadi pemain profesional pada usia 17 tahun.
Gardner memang pemain bagus yang kemudian dipanggil tim nasional Inggris Junior sebanyak 25 kali. Bahkan dia pernah satu tim dengan Wayne Rooney.
Namun tulang mudanya tak cukup kuat menahan cedera.Kariernya habis dan dia menjalani hidupnya dengan bekerja di perusahaan gas Inggris. "Saya bekerja sebagai teknisi instalasi gas."
Lain lagi dengan nasib Scott Parker. Pemain yang baru saja pindah ke Fulham itumasa kecilnya tergolong sebagai anak ajaib. Saat digelar Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, Parker, yang masih berusia 13 tahun, dikenal sebagai anak berbakat. Dia pun ber-juggling dalam sebuah iklan makanan.
Namun keajaiban itu tak membuatnya lekas bersinar. Dia butuh waktu hingga 18 tahun untuk bisa masuk ke tim nasional Inggris. Setelah berkelana di berbagai klub, seperti Charlton, Chelsea, Newcastle, West Ham, dan Tottenham Hotspur, barulah Fabio Capello memanggilnya.
Ajaib, kehebatannya baru diakui pada saat dia berusia 31 tahun.
TEMPO | 13 Oktober 2013
Baca blog ini sudah seperti baca detik.com
BalasHapussangat menarik...sukses buat dimas