Ilustrasi | Google.com |
Pekan lalu, saya mendapat pengalaman menarik dan berharga. Mungkin akan sangat jarang untuk terulang. Selasa silam, saya mendapatkan tugas dari Kepala Unit Pelayanan Psikologi UAD untuk memberikan tes psikologi kepada seorang anak yang baru saja sekolah dari luar negeri. Kebetulan juga belum bisa berbahasa Indonesia secara fasih dan lancar.
Tugas itu hanya diberikan satu hari, sebelum pelaksanaan tes. Sangat mendadak dan mendesak. Mau tidak mau saya harus menerima "tantangan" dari Kepala UPP. Sebenarnya saya belum terlalu baik juga untuk urusan berbahasa Inggris, namun karena hampir seluruh asisten menolak untuk menangani tes ini, ya saya harus tetap maju.
Saya hitung-hitung lagi, waktu saya hanya kurang dari 24 jam. Pagi hingga sore pada hari senin saya habiskan untuk mengurus ini itu di UPP. Otomatis saya sudah lelah juga pada malam harinya. Sambil sedikit demi sedikit mengulang-ulang kembali kosakata bahasa Inggris yang masih saya ingat. Hanya bertahan lima menit, saya justru tertidur.
Pagi harinya, saya telpon Winda untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Kami habiskan hampir 1 jam untuk berbicara. Apabila ada yang kurang tepat dalam tata bahasa dan kosakata, ia akan meralatnya. Waktu 1 jam tentu tidaklah cukup untuk mematangkan persiapan saya, tapi setidaknya saya sudah berusaha supaya tidak terkena virus "vickinisasi" he..he..
Waktu kurang satu jam, dan saya putuskan untuk segera menuju kantor UPP. Dijalan pun saya tidak henti-hentinya komat-kamit mengulang-ulang kembali contoh-contoh percakapan yang tadi pagi sudah saya latih. Untungnya helm saya gelap. Jadi meskipun bibir saya komat-kamit, tidak akan terlihat oleh pengendara lain.
Sampai di UPP, kantor masih lengang. Saya persiapkan semua peralatan tes dan yang terpenting kesiapan mental saya sendiri. Saya sempatkan untuk dhuha empat rakaat terlebih dahulu. Saya hanya meminta supaya saya dapat dengan tenang dalam memberikan tes nanti. Selesai dhuha, saya kembali duduk di UPP terus melanjutkan komat-kamit percakapan.
Setelah beberapa saat menunggu, terdengar langkah berat sepatu. Saya menduga itu suara sepatu milik pak satpam. Benar saja ternyata dugaan saya. Pintu masuk UPP diketuk, dan terdengar "Ini bapak, bagian psikologi," kata pak satpam sambil menengok masuk. "Mas, ada tamu". Cleguk... Akhirnya datang juga.
Pertama yang masuk, seorang anak perempuan, berjilbab hitam dan berpakaian hitam. Gaya jilbabnya, menurut kawan asisten yang kebetulan lihat, bisa dikatakan modis. Ya seperti gaya jilbab istri Hanung Brahmantyo, Zaskya A. Mecca. Bapaknya yang mengikuti dibelakang anak itu langsung mengenalkan diri, bahwa anaknya diminta untuk mengikuti tes psikologi. Tidak lupa, si bapak mengatakan "Mas, anak saya belum bisa bahasa Indonesia". Saya hanya merespon "Oh..." dan suasana hening.
"Tenang bapak, percayalah kami dapat mengatasi masalah ini," ucap saya sambil tersenyum dan sedikit meringis. Di dalam batin, saya mengatakan keras-keras "BISA..BISA..". Lalu saya ajak si klien ini ke ruangan tes. Bukannya menjadi tenang, saya justru semakin gugup.
Ruangan yang kami tempati hanya 6x4 meter. Hanya ada satu meja dan dua kursi didalamnya. Setelah saya persilahkan duduk, saya memulai dengan memperkenalkan diri. Kalau perkenalan tidak boleh salah. Anak SD sekarang aja sudah tahu caranya. Saya sekarang tahu, namanya adalah Sarah. Ia anak Indonesia asli, tetapi sudah pindah ke Abu Dhabi sejak usia tiga tahun. Sekarang usianya 15 tahun, dan akan melanjutkan sekolah di Indonesia lagi. Setelah berbicara sedikit saya mulai dengan tes pertama. Tantangan pun dimulai...
Tes pertama adalah jenis tes kecerdasan. Dalam tes ini, terdapat empat sub tes. Keempat subtes memiliki cara dan pengerjaan masing-masing. Otomatis, saya harus menjelaskan per instruksi dengan menggunakan bahasa Inggris. Sedikit demi sedikit saya mulai menjelaskan dengan kosakata yang saya pahami. Jika saya tanyakan apakah ia telah paham, saya akan memberinya kesempatan untuk menjawab salah satu soal contoh. Begitu seterusnya.
Jalannya tes lancar-lancar saja. Namun pada saat akhir tes, saya mengucapkan permohonan maaf jika bahasa Inggris saya masih sangat buruk. Saya pun menjadi sadar, kemampuan bahasa saya mesti terus ditingkatkan lagi dan lagi. Kali ini saya memang hanya berhadapan dengan seorang remaja yang baru akan masuk sekolah tingkat SMA. Tetapi ke depan? Saya pasti akan berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih hebat.
Kali ini saya hanya seseorang yang memiliki skor TOEFL 483. Tetapi, jika masih ada waktu untuk belajar. Saya harus memanfaatkan waktu itu.
Bertemu dengan klien seperti Sarah, saya menjadi sadar tentang kemampuan saya. Dan beruntung saya memiliki lawan percakapan bahasa Inggris yang hebat dengan Winda.
Saya harus lebih baik lagi... Bersyukur sekali dengan pengalaman ini.
Yogyakarta | 24 September 2013
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus