Langsung ke konten utama

Jika London Derby Terjadi di Senayan

Ini salah satu artikel dari MINGGUAN BOLA 01 Agustus 2013. Tulisan ini dibuat oleh Sumohadi Marsis dengan judul “Seandainya Arsenal Versus Chelsea di Senayan”. Saya sangat terkesan dengan ulasannya. Tulisannya masih berkaitan dengan kedatangan tiga tim elite Premier League Inggris, Arsenal, Liverpool, dan Chelsea. Berikut ulasannya.

Seandainya Arsenal Versus Chelsea di Senayan
Sayang, seperti kemudian kita sama-sama sadari, hasil gelaran internasional dengan ongkos mahal itu timpang, berat sebelah. Ada pihak yang senang dan beruntung, dan ada pihak yang mungkin sedikit bangga tapi banyak malu. Pihak yang merasa senang dan beruntung dalam banyak aspek itu tentunya semua tim tamu. Mulai dari ketiga klub Liga Primer Inggris itu, yakni Arsenal, Liverpool dan Chelsea, sampai timnas Belanda, tiga kali runner-up Piala Dunia.

Di sisi klub-klub Inggris yang tampil berurutan pada Juli ini, hanya Liverpool yang tampak agak kedodoran sebelum akhirnya mampu menjebol gawang Kurnia Meiga untuk menang 2-0. Akan tetapi, Arsenal (7-0) dan Chelsea (8-1) harus kita sebut telah mempermainkan tim kita, apa pun namanya. Akumulasi dari semua statistik itulah yang harus membuat kita malu dan prihatin. Skor total 1-20 dari empat pertandingan sungguh tidak membesarkan hati. Sangat tidak sebanding dengan rasa bangga pemain bertanding melawan klub ternama. Lebih perih, data itu tidak beda jauh dengan fakta dalam Pra-Piala Dunia 2014. Bertanding enam kali melawan Iran, Bahrain, dan Qatar, skor total yang muncul adalah 3-26.

Kenyataan itu terasa menjadi lebih pahit kalau diungki talgi bahwa satu-satunya gol ke gawang Chelsea itu akibat bunuh diri pemain lawan. Siapa pun dari tim Inggris itu pasti bisa berbasa-basi bahwa timnas Indonseia “cukup bagus”, tapi sesungguhnya tidak memahami bahwa sepak bola itu “a matter of goal scoring”.
Eksibisi

Dari awal sejarahnya sampai menjadi olah raga modern yang mendunia, sepak bola memang urusan menggiring dan menceploskan bola ke gawang lawan. Hanya kesebelasan dengan kepandaian mencetak gol yang bisa menang dan menjadi juara. Pengurus PSSI pasti juga sangat menyadari hal itu, sehingga program mendatangkan tim-tim elite dari Eropa atau bagian lain dunia tentunya dimaksudkan sebagai bagian dari upaya menajamkan kemampuan pemain-pemain kita dalam urusan mencetak gol. Sayang, dari kejadian-kejadian terakhir ini nyatalah Djohar Arifin Husin dan stafnya di PSSI serta para promotor tampaknya lebih berorientasi pada sisi keuntungan.

Mereka bisa dikatakan berhasil karena mampu mendatangkan tim-tim dengan penggemar setia yang jumlahnya lumayan besar. Chelsea, misalnya, kabarnya memiliki sekitar 2 juta loyalis di Indonesia. Empat persen saja dari mereka bisa dirayu untuk membeli tiket setara 100 euro sudah bisa memenuhi stadion dan sekaligus kantung fulus mereka. Tapi cara yang mereka pakai dengan menggilir tim-tim eropa datang dan tampil di Senayan hanya menghasilkan kontribusi positif kepada tim-tim itu sendiri dan para penggemarnya di Indonesia. Timnas Belanda dan ketiga klub Inggris itu pun sebenarnya hanya melakukan eksibisi. Mereka hanya memamerkan keunggulan teknik bermain individu dan tim. Boleh jadi sang manajer-pelatih menjadikan partai itu sebagai eksperimen untuk mematangkan tim inti yang akan diterjunkan dalam kompetisi sesungguhanya kelak.

Mereka bisa melakukan itu semua karena dihadapkan dengan tim berperingkat 170 dunia. Apalagi pengurus PSSI sendiri tampaknya tidak melihat kesempatan itu sebagai peluang untuk mematangkan tim yang misalnya disiapkan untuk Pra-Piala Asia 2015. Karena itu namanya pun sekadar tempelan, dari Dream Team sampai All Star.
Ajax vs MU

Rupanya untuk urusan seperti itu pun para penguasa urusan sepak bola kita (dan juga para promotor yang hanya mengejar keuntungan finansial itu) tidak lebih pintar dan bahkan jelas tidak lebih kreatif dibanding pengurus PSSI era 1970-an.

Ketika PSSI dipimpin Bardosono (1974-1977), terdapat seorang ketua bernama Kamaruddin Panggabean. Tokoh sepak bola dari Medan itu, dengan kemampuan lobi dan negonya yang andal, sangat kreatif dan produktif dalam urusan mendatangkan tim dari negara-negara maju.

Salah satu “masterpiece” adalah menghadirkan dua klub raksasa Eropa, Ajax Amsterdam dan Manchester United. Keduanya bukan hanya dikontrak untuk bergiliran tampil di Senayan, tapi diadu dalam turnamen segitiga melawan tim Indonesia. Sungguh tiga partai yang seru dan bermutu, apalagi pada laga puncaknya adalah Ajax vs MU.

Seperti yang saya laporkan (sebagai wartawan Kompas) pada awal Juni 1975, tim Indonesia yang diperkuat antara lain oleh kiper Rony Pasla, libero Oyong Liza, gelandang Junaidi Abdillah dan penyerang Waskito, justru meraih lebih banyak peluang mencetak gol ketika melawan Ajax, meski akhirnya kalah 1-4. Partai kedua PSSI menahan MU imbang 0-0. Puncaknya: Ajax 3, MU 2.

Ajax memang lebih unggul materi karena di dalamnya terdapat sejumlah pemain yang menjadi tulang punggung Belanda pada final Piala Dunia 1974, seperti Johny Rep dan Wim Suurbier. MU pun diperkuat kiper terbaiknya, Alex Stepney.

Penonton (dengan harga tiket VIP Barat Rp. 10.000) tidak hanya terhibur, tetapi juga tersulut oleh api perjuangan para pemain Indonesia maupun kedua tim tamu yang sama-sama bertekad menang. Para pemain PSSI itu pula yang kemudian menjadi inti kekuatan timnas meraih tiket final Pra-Olimpiade 1976 melawan Korea Utara.

Seandainya pengalaman bagus itu mau diulang, PSSI sekarang bisa mengundang kembali misalnya Arsenal dan Chelsea, untuk bersegitiga dengan timnas Merah Putih di Senayan. Pasti bukan hanya sebuah sensasi “London Derby”, tapi juga dua laga sangat kompetitif bagi timnas Indonesia yang entah mau diterjunkan ke turnamen apa.

Pasti tidak mudah maupun murah bagi PSSI dan promotor mana pun untuk menggelar segitiga istimewa seperti itu. Tapi kalau PSSI era 1970-an saja bisa, kenapa sekarang tidak?

Kebumen, 2 Agustus 2013

Komentar

Posting Komentar

Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.

Postingan populer dari blog ini