Beberapa media nasional cetak maupun elektronik dua hari lalu, menggunakan headline berita mereka tentang rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Rencana kenaikan BBM bersubsidi sekitar Rp. 2.000 dari harga awal Rp. 4.500 per liter. Jika rencana tersebut di “yes” kan oleh presiden, maka harga baru BBM menjadi Rp. 6.500 per liter untuk premium dan Rp. 5.500 untuk solar.
Kenaikan ini tentu banyak menimbulkan pro dan kontra. Bagi pihak yang pro kenaikan BBM, tentu tidak menanggapi seheboh dengan pihak-pihak yang kontra kebijakan tersebut. Bahkan, beberapa oknum atau kalangan akademisi (baca: mahasiswa) sampai melakukan aksi unjuk rasa yang dibarengi tindakan anarkis, seperti membakar ban hingga bentrokan dengan aparat. Sungguh sangat disayangkan.
Beberapa waktu lalu tentu kita masih ingat, banyak pihak yang menyayangkan subsidi BBM yang dianggap terlalu besar. Besarnya subsidi BBM disebabkan keekonomian harga BBM premium yang kita beli sehari-hari sekitar Rp. 9.500 – Rp. 10.000 per liter (bergantung fluktuasi harga minyak dunia). Sementara harga yang kita bayar sebesar Rp. 4.500. Hal ini berarti pemerintah setidaknya memberikan subsidi sekitar Rp. 5.000 kepada mereka pemilik mobil yang selalu membeli premium. Aneh memang, pemerintah memberikan subsidi kepada mereka yang jelas-jelas mampu membeli mobil yang harganya jutaan hingga milyaran rupiah.
Tetap saja yang disalahkan adalah pemerintah saat ini. Pemerintah dianggap hanya menyengsarakan rakyat apabila rencana kenaikan harga BBM benar-benar direalisasikan. Bayangkan, apabila subsidi BBM benar-benar dipangkas. Uang yang habis untuk subsidi energi (309,9 triliun dari total APBN Rp.1.500 triliun) jelas dapat digunakan untuk memperbaiki fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, dan pelayanan sosial.
Setiap pemerintahan, siapapun presidennya, tentu akan menghadapi isu BBM. Saya miris ketika melihat salah satu partai yang diketuai oleh mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Partai itu memilih untuk menjadi oposisi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan kenaikan harga BBM.
Padahal bila dirunut kebelakang. Tahun 2003, Megawati jelas-jelas mengatakan “Pengalaman lima tahun lalu, masyarakat kita sering dininabobokkan. Hanya mengharapkan dukungan politik rakyat, perekonomian menjadi runtuh. Saya yakin keputusan pemerintah menaikkan harga BBM akan membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik lagi.” Presiden Megawati pada peringatan HUT ke-30 PDIP di Badung, Bali (Jawa Pos, 18/06/2013).
Tetapi entah kenapa, mungkin karena lupa, Megawati seakan lupa dengan yang telah diucapkannya itu. Kini pihaknya justru beranggapan BBM naik = rakyat sengsara. Memang harga kebutuhan pokok akan naik, namun tidak akan semengerikan yang dibayangkan.
Maksud saya, kita ambil contoh harga cabai. Apabila harga cabai menjadi naik, ya usahakan tidak membuat makanan pedas terlalu banyak. Kurangi cabenya. Memang porsi pedas akan berkurang, tetapi masakan tetap pedas bukan?
Kita kembali lagi pada kata “lupa”. Saya sebetulnya sangat menginginkan setiap presiden menumbuhkan rasa saling mendukung untuk membangun bangsa. Dukungan tentu diberikan kepada presiden yang sedang berkuasa. Sikap dan tindakan kelompok mantan presiden Megawati itu tentu sangat disayangkan. Sama saja beliau sudah menjilat ludah sendiri.
Lain PDIP lain PKS. Partai yang berlabelkan partai Islam itu justru seperti duri dalam daging di tubuh pemerintah. Di lain sisi, menolak secara frontal, disisi lain menterinya tetap saja didalam pemerintahan. Menteri Tifatul Sembiring, pernah berkata dirinya tetap sejalan dengan kebijakan pemerintah. Tetapi kenapa juga Pak Tifatul tidak menjelaskan maksud pemerintah ke seluruh kader partai? Apa iya, suara Pak Tifatul tidak didengar ke seluruh kader? Saya kira tidak mungkin.
Keduanya mungkin memang lupa. Pertama lupa apa yang diucapkan, kedua lupa posisinya dimana dalam pemerintah. Perilaku lupa memang sangat manusiawi. Kalau manusia tidak lupa, namanya bukan manusia. Tetapi recorder. Recorder tidak akan hilang “ingatan”nya, apabila tidak dihapus.
Saya tidak bermaksud menyerang PDIP dan PKS. Saya hanya menyayangkan sikap keduanya. Saya yakin keduanya partai besar. Partai yang telah memiliki sejarah dan rekam jejak yang panjang di negeri ini. Keduanya memiliki tokoh yang hebat didalamnya. Tetapi dunia politik tentu berbeda dengan dunia orang awam seperti saya.
Setiap kebijakan pemerintah memang tidak semua sempurna. Tetapi, apabila sebentar-sebentar hanya di kritik dan kritik, tentu tidak akan maksimal jalannya. Kritik tidak harus menyerang, tetapi mendorong dan mengarahkan bagaimana kebijakan itu sesuai dengan keinginan rakyat. Hidup Sejahtera.
Semua tokoh tidak boleh “lupa” oleh desakan wacana dan kepentingan politik. Politik itu tinggi, karena membawa kemaslahatan warga dalam satu negara ini. Politik itu seakan berpijak pada dua lantai. Kaki pertama di surga, kaki yang lain di neraka. Tinggal pilih, selama tidak “lupa” resikonya.
Yogyakarta, 20 Juni 2013
Kenaikan ini tentu banyak menimbulkan pro dan kontra. Bagi pihak yang pro kenaikan BBM, tentu tidak menanggapi seheboh dengan pihak-pihak yang kontra kebijakan tersebut. Bahkan, beberapa oknum atau kalangan akademisi (baca: mahasiswa) sampai melakukan aksi unjuk rasa yang dibarengi tindakan anarkis, seperti membakar ban hingga bentrokan dengan aparat. Sungguh sangat disayangkan.
Beberapa waktu lalu tentu kita masih ingat, banyak pihak yang menyayangkan subsidi BBM yang dianggap terlalu besar. Besarnya subsidi BBM disebabkan keekonomian harga BBM premium yang kita beli sehari-hari sekitar Rp. 9.500 – Rp. 10.000 per liter (bergantung fluktuasi harga minyak dunia). Sementara harga yang kita bayar sebesar Rp. 4.500. Hal ini berarti pemerintah setidaknya memberikan subsidi sekitar Rp. 5.000 kepada mereka pemilik mobil yang selalu membeli premium. Aneh memang, pemerintah memberikan subsidi kepada mereka yang jelas-jelas mampu membeli mobil yang harganya jutaan hingga milyaran rupiah.
Tetap saja yang disalahkan adalah pemerintah saat ini. Pemerintah dianggap hanya menyengsarakan rakyat apabila rencana kenaikan harga BBM benar-benar direalisasikan. Bayangkan, apabila subsidi BBM benar-benar dipangkas. Uang yang habis untuk subsidi energi (309,9 triliun dari total APBN Rp.1.500 triliun) jelas dapat digunakan untuk memperbaiki fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, dan pelayanan sosial.
Setiap pemerintahan, siapapun presidennya, tentu akan menghadapi isu BBM. Saya miris ketika melihat salah satu partai yang diketuai oleh mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Partai itu memilih untuk menjadi oposisi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan kenaikan harga BBM.
Padahal bila dirunut kebelakang. Tahun 2003, Megawati jelas-jelas mengatakan “Pengalaman lima tahun lalu, masyarakat kita sering dininabobokkan. Hanya mengharapkan dukungan politik rakyat, perekonomian menjadi runtuh. Saya yakin keputusan pemerintah menaikkan harga BBM akan membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik lagi.” Presiden Megawati pada peringatan HUT ke-30 PDIP di Badung, Bali (Jawa Pos, 18/06/2013).
Tetapi entah kenapa, mungkin karena lupa, Megawati seakan lupa dengan yang telah diucapkannya itu. Kini pihaknya justru beranggapan BBM naik = rakyat sengsara. Memang harga kebutuhan pokok akan naik, namun tidak akan semengerikan yang dibayangkan.
Maksud saya, kita ambil contoh harga cabai. Apabila harga cabai menjadi naik, ya usahakan tidak membuat makanan pedas terlalu banyak. Kurangi cabenya. Memang porsi pedas akan berkurang, tetapi masakan tetap pedas bukan?
Kita kembali lagi pada kata “lupa”. Saya sebetulnya sangat menginginkan setiap presiden menumbuhkan rasa saling mendukung untuk membangun bangsa. Dukungan tentu diberikan kepada presiden yang sedang berkuasa. Sikap dan tindakan kelompok mantan presiden Megawati itu tentu sangat disayangkan. Sama saja beliau sudah menjilat ludah sendiri.
Lain PDIP lain PKS. Partai yang berlabelkan partai Islam itu justru seperti duri dalam daging di tubuh pemerintah. Di lain sisi, menolak secara frontal, disisi lain menterinya tetap saja didalam pemerintahan. Menteri Tifatul Sembiring, pernah berkata dirinya tetap sejalan dengan kebijakan pemerintah. Tetapi kenapa juga Pak Tifatul tidak menjelaskan maksud pemerintah ke seluruh kader partai? Apa iya, suara Pak Tifatul tidak didengar ke seluruh kader? Saya kira tidak mungkin.
Keduanya mungkin memang lupa. Pertama lupa apa yang diucapkan, kedua lupa posisinya dimana dalam pemerintah. Perilaku lupa memang sangat manusiawi. Kalau manusia tidak lupa, namanya bukan manusia. Tetapi recorder. Recorder tidak akan hilang “ingatan”nya, apabila tidak dihapus.
Saya tidak bermaksud menyerang PDIP dan PKS. Saya hanya menyayangkan sikap keduanya. Saya yakin keduanya partai besar. Partai yang telah memiliki sejarah dan rekam jejak yang panjang di negeri ini. Keduanya memiliki tokoh yang hebat didalamnya. Tetapi dunia politik tentu berbeda dengan dunia orang awam seperti saya.
Setiap kebijakan pemerintah memang tidak semua sempurna. Tetapi, apabila sebentar-sebentar hanya di kritik dan kritik, tentu tidak akan maksimal jalannya. Kritik tidak harus menyerang, tetapi mendorong dan mengarahkan bagaimana kebijakan itu sesuai dengan keinginan rakyat. Hidup Sejahtera.
Semua tokoh tidak boleh “lupa” oleh desakan wacana dan kepentingan politik. Politik itu tinggi, karena membawa kemaslahatan warga dalam satu negara ini. Politik itu seakan berpijak pada dua lantai. Kaki pertama di surga, kaki yang lain di neraka. Tinggal pilih, selama tidak “lupa” resikonya.
Yogyakarta, 20 Juni 2013
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.