Satu minggu ini, saya merasakan kepenatan yang amat sangat. Mungkin kalau diberi tingkat penilaian antara 1-10, saya akan memilih angka 9. Tanggung jawab sebagai mahasiswa magang di sebuah instansi pelayanan psikologi dan beban mahasiswa tingkat akhir untuk menyelesaikan skripsi seakan tertumpuk semua di pundak saya. Seminggu ini kebetulan saja, klien-klien kami berdatangan. Saya merasa rasa syukur tetap ada, namun juga beriringan dengan rasa lelah.
Anda masih ingat film Banyu Biru? Film Indonesia yang dibuat tahun 2005 silam dengan bintang Tora Sudiro, Dian Sastrowardoyo hingga aktor senior Slamet Rahardjo, berhasil membuat saya merenungkan kembali keadaan saya saat ini.
Dalam film tersebut, Banyu (Tora Sudiro) diceritakan mencari jawaban tentang permasalahan hidup yang dideranya. Bekerja di bagian pelayanan konsumen di sebuah supermarket, Banyu mendapatkan hidupnya penuh masalah. Kawan sekerjanya, selalu datang untuk meminta bantuan tanpa pernah memperhatikan keadaannya yang sudah lelah. Kisah masa lalu yang menghantui pikirannya pun seakan memecahkan pikirannya.
Banyu yang sangat penat, mengikuti seminar peningkatan kinerja bagi para pekerja supermarket. Suasana yang membosankan, terus menambah beban pikirannya. Tiba-tiba dia tertidur dan mulai bermimpi. Di dalam mimpinya, ia mencari jawaban atas semua permasalahannya. Mulai dengan kembali ke rumah masa kecilnya yang telah kosong. Maklum saja karena Banyu telah pergi dari rumah 10 tahun lamanya.
Lalu disana, ia bertemu dengan Sula (Dian Sastrowardoyo) teman masa kecilnya. Dari Sula-lah Banyu tahu kalau Bapaknya, Yuskar (Slamet Rahardjo) telah pindah rumah. Banyu pun mencari alamat Bapaknya dari informasi yang diperoleh dari Pamannya, Wahyu (Didi Petet).
Salah satu bagian yang saya sukai, ketika dialog antara Banyu dan Sula. Jika saya tidak salah ingat, Sula bertanya kepada Banyu, “Kamu ada masalah ya?”. “Iya, makanya aku kembali untuk memecahkan masalah itu” jawab Banyu. Dengan tenang, Sula kembali membalas, “Setiap masalah itu harus diselesaikan dari diri sendiri dulu.” Saya pun tertegun dengan kalimat “Setiap masalah harus diselesaikan dari diri sendiri dulu”.
Kembali lagi ke alur cerita. Setelah bertemu dengan sang Paman. Banyu mencari rumah ayahnya. Ia mesti melewati laut dengan hanya menggunakan sebuah kapal kecil. Padahal dia sangat takut dengan air. Ia masih trauma dengan kematian adik satu-satunya, Biru, yang tenggelam di kolam renang sewaktu kecil. Ibunya yang shock meninggal tidak lama setelah kematian adiknya.
Akhirnya ia dapat bertemu dengan ayahnya. Ayahnya menceritakan semua perasaan kehilangan atas kematian istrinya. Banyu selama 10 tahun menganggap ayahnya hanya memikirkan dirinya sendiri, tanpa pernah memiliki rasa cinta terhadap keluarganya. Termasuk pada ibunya. Setelah mendapatkan jawaban dari ayahnya, Banyu pun kembali pulang ke kota.
Tiba-tiba saat masih diatas kapal, kepalanya pusing dan ia terjatuh ke laut. Dia tersentak bangun dan mendapati dirinya masih berada didalam seminar peningkatan kinerja karyawan. Lalu dia berujar, “Masalah itu harus diselesaikan didalam realita, tidak hanya terus menerus mencari jawaban didalam mimpi.” Ia beranjak keluar ruang dan pergi.
Cerita Banyu Biru memang menyentil terhadap perasaan saya pribadi. Saya memang tidak memiliki masalah serumit tokoh Banyu, tetapi memiliki kesamaan dalam memecahkan masalah seperti tokoh Banyu. Saya mungkin hanya terjebak didalam pikiran saya, tanpa pernah mau berusaha secara nyata untuk menyelesaikan masalah saya.
Saya merasa pekerjaan yang menghimpit saya seminggu ini menghambat semua rencana-rencana yang sudah saya susun. Ketika satu per satu rencana tersebut tidak terlaksana, maka saya akan bingung untuk menyusun ulang rencana saya.
Namun, dari film itu, meyakinkan bahwa masalah yang muncul memang harus diselesaikan mulai dari dalam diri masing-masing pribadi. Saya yakin masalah akan dapat diselesaikan, serumit apa pun masalah tersebut. Tinggal bagaimana kita menyusun aksi dalam alam realita kita.
Yogyakarta, 23 Juni 2013
Anda masih ingat film Banyu Biru? Film Indonesia yang dibuat tahun 2005 silam dengan bintang Tora Sudiro, Dian Sastrowardoyo hingga aktor senior Slamet Rahardjo, berhasil membuat saya merenungkan kembali keadaan saya saat ini.
Dalam film tersebut, Banyu (Tora Sudiro) diceritakan mencari jawaban tentang permasalahan hidup yang dideranya. Bekerja di bagian pelayanan konsumen di sebuah supermarket, Banyu mendapatkan hidupnya penuh masalah. Kawan sekerjanya, selalu datang untuk meminta bantuan tanpa pernah memperhatikan keadaannya yang sudah lelah. Kisah masa lalu yang menghantui pikirannya pun seakan memecahkan pikirannya.
Banyu yang sangat penat, mengikuti seminar peningkatan kinerja bagi para pekerja supermarket. Suasana yang membosankan, terus menambah beban pikirannya. Tiba-tiba dia tertidur dan mulai bermimpi. Di dalam mimpinya, ia mencari jawaban atas semua permasalahannya. Mulai dengan kembali ke rumah masa kecilnya yang telah kosong. Maklum saja karena Banyu telah pergi dari rumah 10 tahun lamanya.
Lalu disana, ia bertemu dengan Sula (Dian Sastrowardoyo) teman masa kecilnya. Dari Sula-lah Banyu tahu kalau Bapaknya, Yuskar (Slamet Rahardjo) telah pindah rumah. Banyu pun mencari alamat Bapaknya dari informasi yang diperoleh dari Pamannya, Wahyu (Didi Petet).
Salah satu bagian yang saya sukai, ketika dialog antara Banyu dan Sula. Jika saya tidak salah ingat, Sula bertanya kepada Banyu, “Kamu ada masalah ya?”. “Iya, makanya aku kembali untuk memecahkan masalah itu” jawab Banyu. Dengan tenang, Sula kembali membalas, “Setiap masalah itu harus diselesaikan dari diri sendiri dulu.” Saya pun tertegun dengan kalimat “Setiap masalah harus diselesaikan dari diri sendiri dulu”.
Kembali lagi ke alur cerita. Setelah bertemu dengan sang Paman. Banyu mencari rumah ayahnya. Ia mesti melewati laut dengan hanya menggunakan sebuah kapal kecil. Padahal dia sangat takut dengan air. Ia masih trauma dengan kematian adik satu-satunya, Biru, yang tenggelam di kolam renang sewaktu kecil. Ibunya yang shock meninggal tidak lama setelah kematian adiknya.
Akhirnya ia dapat bertemu dengan ayahnya. Ayahnya menceritakan semua perasaan kehilangan atas kematian istrinya. Banyu selama 10 tahun menganggap ayahnya hanya memikirkan dirinya sendiri, tanpa pernah memiliki rasa cinta terhadap keluarganya. Termasuk pada ibunya. Setelah mendapatkan jawaban dari ayahnya, Banyu pun kembali pulang ke kota.
Tiba-tiba saat masih diatas kapal, kepalanya pusing dan ia terjatuh ke laut. Dia tersentak bangun dan mendapati dirinya masih berada didalam seminar peningkatan kinerja karyawan. Lalu dia berujar, “Masalah itu harus diselesaikan didalam realita, tidak hanya terus menerus mencari jawaban didalam mimpi.” Ia beranjak keluar ruang dan pergi.
Cerita Banyu Biru memang menyentil terhadap perasaan saya pribadi. Saya memang tidak memiliki masalah serumit tokoh Banyu, tetapi memiliki kesamaan dalam memecahkan masalah seperti tokoh Banyu. Saya mungkin hanya terjebak didalam pikiran saya, tanpa pernah mau berusaha secara nyata untuk menyelesaikan masalah saya.
Saya merasa pekerjaan yang menghimpit saya seminggu ini menghambat semua rencana-rencana yang sudah saya susun. Ketika satu per satu rencana tersebut tidak terlaksana, maka saya akan bingung untuk menyusun ulang rencana saya.
Namun, dari film itu, meyakinkan bahwa masalah yang muncul memang harus diselesaikan mulai dari dalam diri masing-masing pribadi. Saya yakin masalah akan dapat diselesaikan, serumit apa pun masalah tersebut. Tinggal bagaimana kita menyusun aksi dalam alam realita kita.
Yogyakarta, 23 Juni 2013
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.