Langsung ke konten utama

Belajar Kehidupan dari Sepak Bola


Kemenangan Bayern Munchen di ajang Liga Champions musim ini dengan skuad muda dan permainan cepat banyak memikat semua kalangan. Para analis bola dunia tidak sungkan untuk menyematkan “yang terbaik” bagi Bayern Munchen. Disisi lain, kepergian sang pelatih utama, Jupp Heynckess musim depan kali ini banyak disesalkan. Ya kursi kepelatihan musim depan, akan diganti oleh pelatih muda sensasional Pep Guardiola. Pep berhasil mempersembahkan 16 trophy dalam empat tahun kepelatihannya bagi Barcelona (2008-2012).

Kembali ke Bayern, terutama Heynckes. Saya masih ingat ketika Heynckes menapakkan kakinya pertama kali di Allianz Arena musim 2010/2011 lalu. Ia melanjutkan tongkat estafet “lusuh” dari Juergen Klinsmann. Bayern saat itu dalam keadaan compang-camping di liga domestik. Masa-masa sulit pun dilalui dengan nirgelar pada 2011/2012. Padahal Die Roten, sebutan Bayern, berhasil masuk final Liga Champions tapi digagalkan oleh Chelsea. Selain itu, Borussia Dortmund justru sedang on fire. Dua gelar domestik mereka dapatkan dalam dua tahun beruntun (2010/2011 dan 2011/2012).

Toh, kesabaran dan proses yang dilakukan oleh Heynckes membuahkan hasil. Belajar dari kekurangan saat melawan Chelsea, klub membeli Javi Martinez, gelandang muda asal Atletic Bilbao. Tidak tanggung-tanggung, mahar 40 juta pounds menjadikan Martinez pemain termahal dalam sejarah transfer Die Roten. Tim yang matang dan kuat secara taktik tentu tidak dibentuk dalam satu musim. Tapi tiga musim bagi Heynckes.

Selain Heynckes, siapa pula yang tidak kenal Sir Alex Ferguson. Pelatih Manchester United ini juga perlu membangun dinasti United tiga tahun di awal masa kepemimpinannya. Datang dari Aberdeen pada 1986, Ferguson baru memperoleh trofi pertama pada musim 1989/1990. Kemenangan di Final Piala FA itulah yang menyelamatkan kariernya hingga saat ini. Tentu bukan hal yang mudah karena fans setan merah saat itu sudah tidak sabar dan ingin segera pelatihnya itu diganti. Tetapi disinilah letak kesabaran dan kejelian manajemen United. Manajemen United tetap percaya pada Fergie dan akhirnya Fergie berhasil merubah United menjadi klub raksasa eropa dan dunia.

Masa pengabdian Ferguson akhirnya sampai titik akhir juga. Pada 12 Mei 2013 lalu, Fergie resmi menjalani laga terakhir bersama United kontra Swansea City. Kakek 71 tahun itu telah menjalani 27 tahun bersama United. Selama di United, ia berhasil mempersembahkan 38 trofi dan total ia mengoleksi 49 trofi selama karier kepelatihannya (St. Mirren, Aberdeen, dan Manchester United). Kini Fergie resmi pensiun dari kursi kepelatihan United.

Antara Heynckes dan Ferguson memiliki beberapa kesamaan. Keduanya melewati proses panjang untuk mempersembahkan trofi bagi klubnya. Selain itu, pada masa awal kepelatihan keduanya juga dianggap tidak mampu oleh fans. Heynckes berhasil memperpanjang nafasnya di Bayern setelah lima pertandingan terakhir musim 2009/2010 berakhir memuaskan, sedangkan Fergie menunggu tiga tahun untuk memperoleh trofi pertamanya. Kedua manajemen Bayern Munchen dan Manchester United pun punya sikap yang sama. Percaya pada kemampuan pelatih yang mereka miliki.

Nasib keduanya sangat kontras dengan yang dialami pelatih “Spesial” lainnya. Nasib Jose Mourinho dan Roberto Mancini tidak seindah nasib Heynckes dan Ferguson. Tiga musim di klub kaya bintang, Real Madrid, Mourinho tak kuasa menahan hasrat juara manajemen Madrid. Track Record “The Special One” ini tidaklah buruk. Musim pertamanya, dia berhasil mempersembahkan trofi Copa del Rey. Musim keduanya, ia berhasil membawa Madrid menjadi jawara Liga BBVA dan yang utama memutus dominasi Barcelona di tanah Spanyol tiga musim berturut-turut. Dua musim itu pula, Mou berhasil membawa Madrid sampai Semifinal Liga Champions Eropa. Nahas pada musim ketiga, alih-alih mempertahankan titel jawara Liga BBVA, Madrid justru gagal menggoyang dominasi Barcelona. Di Liga Champions Madrid lagi-lagi terhenti di semifinal. Yang terakhir, berhasil masuk ke final piala Copa Del Rey, Madrid justru kalah tetangga sekota Atletico Madrid.

Nasib Roberto Mancini di Manchester City bahkan seperti pepatah Habis Manis Sepah di Buang. Nasib pelatih asal Italia itu musim ini sangat kontras dengan musim lalu. Manchester City musim lalu berhasil menjuarai Liga Premier Inggris, sedangkan musim ini The Citizens, julukan Man. City, hanya berhasil memperoleh runner up. Musim ini bahkan Manchester biru mampu menembus final Piala FA. Tetapi gagal saat kontra Wigan Athletic. Bahkan Wigan langsung terdegradasi musim ini!. Tak terelakkan Mancini harus lengser dari kursi kepelatihannya.

Setiap klub memiliki tradisi dan kulturnya masing-masing atau mungkin jaman memang sudah berubah. Kesabaran manajemen makin terdesak dengan segala tuntutan keadaan. Imbasnya posisi manajer dan pelatih juga semakin rentan untuk lengser setiap saat. Pemilik klub era modern banyak yang telah menggolontorkan uang pribadi mereka untuk mendapatkan prestasi klub. Bahkan seolah-olah prestasi dapat dibeli dengan uang.

Menurut saya pribadi, semua yang ada di dunia ini melewati berbagai proses kehidupan. Pernahkah Anda melihat seorang bayi tiba-tiba langsung berubah menjadi orang dewasa? Tidak akan mungkin. Itulah hukum alam. Setiap proses yang dijalani membawa dampak yang efeknya dapat bertahan lebih lama daripada yang tidak mengandalkan proses sama sekali. Semestinya klub sebesar Real Madrid dan Manchester City paham hal itu.

Yang jelas, itulah yang menarik dari sepak bola. Tidak hanya penerapan taktik dan cara permainan di atas lapangan yang menarik mata, tetapi setiap dinamika yang ada didalamnya. Saya banyak melihat manfaat dari sekadar membaca dan menonton berita seputar sepak bola. Disanalah hidup berputar, seperti bola yang terus berputar dan hanya akan tertuju pada satu goal.

Yogyakarta, 3 Juni 2013

Komentar

Posting Komentar

Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.

Postingan populer dari blog ini