Langsung ke konten utama

Hatta Sebagai Pancasilais

Dalam sebuah lokakarya tentang sosialisasi empat pilar oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, saya pernah ditanyai apakah ada tokoh yang pernah menerapkan Pancasila dalam kehidupannya? Ada, jawab saya, dan salah satu tokoh itu adalah Mohammad Hatta, yang lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902.

Mohammad Hatta menduduki posisi strategis dalam sejarah Indonesia paling sedikit pada lima tonggak penting kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada masing-masing fase ini, ia sesungguhnya telah melaksanakan Pancasila.

Pertama, sebelum Indonesia Merdeka, Hatta, yang belajar di negeri Belanda, aktif dalam Indonesische Vereeniging yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpoenan Indonesia, dan beberapa periode menjadi ketua. Perkumpulan ini menerbitkan majalah Indonesia Merdeka, yang juga dibaca oleh aktivis pergerakan di Tanah Air. Yang lebih penting lagi, pada 1925, mereka mengeluarkan Manifesto Politik yang dianggap Sartono Kartodirdjo lebih komprehensif dari Sumpah Pemuda 1928. Sementara dalam Sumpah Pemuda terkandung hanya unsur persatuan, pada Manifesto Politik 1925 ditekankan tentang persatuan, kesetaraan, dan kemerdekaan (unity, egality and liberty). Gagasan luhur tersebut terkandung pula dalam sila kedua dan ketiga Pancasila.

Kedua, pada 17 Agustus 1945 Hatta, berdua dengan Sukarno, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sempat diusulkan agar teks proklamasi itu ditandatangani semua tokoh yang hadir dalam rapat penyusunannya, namun akhirnya diputuskan hanya oleh Sukarno dan Hatta. Tujuan kemerdekaan Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Jadi sila kelima, keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia, yang hendak diperjuangkan melalui proklamasi kemerdekaan.

Ketiga, keesokan harinya, 18 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Pada 22 Juni 1945 muncul gagasan yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, yaitu pencantuman 7 kata (kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam UUD 1945. Bung Hatta, yang mendengar kritik keras dari wilayah Indonesia bagian Timur yang mengancam akan keluar dari Indonesia bila kata-kata itu dimasukkan, berusaha melobi beberapa tokoh Islam agar klausa tersebut dihilangkan. Upaya itu berhasil. Hatta adalah seorang yang taat menjalankan syariat Islam dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi ia dapat menenggang perasaaan warga sebangsanya yang tidak menganut agama ini. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tentu dapat diinterpretasikan seperti sikap dan keyakinan Bung Hatta tersebut, menenggang perasaan orang lain yang sebangsa termasuk pula dalam sila kedua.

Hatta adalah penggagas politik luar negeri yang bebas-aktif. Pidato terkenalnya yang berkaitan dengan hal ini adalah “Mendayung di Antara Dua Karang”. Politik luar negeri yang bebas aktif itu dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan mengadakan KAA (Konferensi Asia-Afrika) di Bandung pada 1955, yang menghasilkan Dasasila Bandung. Ini bagian dari perikemanusiaan yang adil dan beradab.

Keempat, Hatta menerima Penyerahan Kedaulatan di negeri Belanda pada Desember 1949. RIS (Republik Indonesia Serikat) hanya sempat berdiri beberapa bulan. Setelah itu, melebur kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini termasuk sila ketiga Pancasila.

Kelima, Hatta bersama Sukarno membentuk Dwitunggal Kepemimpinan dar 1945 sampai 1955. Duet ini terbukti tangguh dan mampu bertahan paling sedikit satu dasawarsa. Dalam perdebatan di KNIP Februari 1947, misalnya, Perjanjian Linggarjati dikritik keras kelompok oposisi, padahal keadaan waktu itu sudah gawat karena Belanda membentuk negara Indonesia Timur. Maka, Hatta sempat berkata, kalau kebijakan pemerintah tidak disetujui, silakan mencari pemimpin lain di luar Sukarno-Hatta. Dalam Peristiwa Madiun tahun 1948 juga dilontarkan oleh Bung Karno: pilih Sukarno-Hatta atau Musso.

Tahun 1956, dwitunggal Sukarno-Hatta menjadi tanggal. Hatta, yang berbeda pendapat dengan Sukarno tentang penyelenggaraan negara, memutuskan mundur. Walaupun demikian, hubungan pribadi di antara keduanya tetap baik. Kadang-kadang Hatta menulis surat kepada Bung Karno bila ada hal-hal yang dirasanya tidak tepat. Jelas ini sikap demokrasi yang sudah diatur dalam sila keempat Pancasila.

Ketika Bung Karno mengalami “tahanan rumah” di Wisma Yaso Jakarta selama 1968-1970, Hatta datang membesuk. “No, apa kabar?” panggil Hatta di samping tempat tidur. Sukarno membuka matanya dan memandang beberapa lama sebelum mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda. Hatta memijit lengan Bung Karno, air mata Presiden RI pertama itu menetes ke bantal. Beliau meminta dipasangkan kacamata agar dapat memandang Hatta lebih jelas. Tidak ada kata-kata lagi yang terucap, namun mungkin keduanya mengenang masa perjuangan mencapai kemerdekaan sejak puluhan tahun silam. Pertemuan terakhir di antara kedua proklamator berlangsung selama 30 menit. Beberapa hari kemudian (pada Juni 1970), Sukarno berpulang.

Hatta sendiri wafat pada Maret 1980. Pada saat-saat terakhir, istri Sukarno, Fatmawati, membimbing dia membaca kalimat syahadat. Hatta mengikuti dengan suara terbata-bata sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan. Namun, tepat dua bulan kemudian, Fatmawati juga berpulang ke rahmatullah.


*) Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI | Selasa, 14 Agustus 2012 | 11:53 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini