Manajer Liverpool, Brendan Rodgers (Foto: The Telegraph) |
Setelah
menghadiri peringatan tragedi di Stadion Hillsborough 1989 di St. George Hall,
Rabu lalu, dan berbicara dengan keluarga dari 96 suporter Liverpool yang tewas
dalam tragedi tersebut, Brendan Rodgers menyadari tugas “pastoral” begitu luas
yang diharapkan dari Manajer Liverpool. “Aku merasakan tanggung jawab yang
lebih besar kepada orang-orang,” kata Rodgers.
Menjadi Manajer
Liverpool tidak cuma mengurusi olahraga. Tugasnya lebih kompleks daripada
sekadar menyiapkan 11 pemain secara fisik, mental, dan taktik untuk pertempuran
sepak bola selama 90 menit. Dengan menjadi Manajer The Reds, ia juga harus
menjadikan dirinya sebagai tokoh panutan masyarakat dan senantiasa memberi
dukungan kepada mereka ketika mengalami guncangan dan tragedi.
Liverpool unik.
Semua suporternya meminta para manajer klub kebanggaannya itu memberikan hati
dan jiwanya kepada mereka sebaik kemampuan dia dalam mengatur strategi
memenangi pertandingan sepak bola. Klub yang bermarkas di Stadion Anfield ini
memiliki sejarah panjang tentang manajer sebagai mentor. Dari Bill Shankly
sampai Bob Paisley, melalui Kenny Dalglish kepada Rafa Benitez, dan kini
Rodgers.
Seorang Manajer
Liverpool dituntut bisa memimpin, membimbing, memberi inspirasi, dan menasihati
di luar lapangan sebagaimana ia menjadi manajer pelatih. Ia hadir di Anfield
untuk segala alasan. “Ini adalah satu pandangan hidup,” kata Rodgers di
kantornya sebagai manajer Si Merah. “Kamu membawa sebuah kota dan harapan
masyarakat di sini. Saya juga berpikir bahwa klub ini mencari tipe manajer
tertentu. Sesuatu hal baik yang melekat pada diri kamu atau tidak.”
Liverpool mencari
kualitas seperti kekuatan karakter, bagaimana manajer itu membagi konsentrasi
antara kepentingan untuk diri sendiri dan pihak lain, serta kemampuan untuk
terlibat dengan orang-orang lokal yang memandang Anfield sebagai tempat ibadah.
“Ini tentang orang-orang,”
Rodgers melanjutkan. “Ini tentang kebutuhan manusia dan terkadang mereka dapat
tersesat dalam sepak bola. Anda tahu taktik dan teknik. Tapi, orang-orang yang
Anda ingat dalam hidup Anda, sebenarnya mereka itu yang mengatakan sesuatu yang
manusiawi untuk Anda dan memberi Anda harapan.”
Sebagai seorang
pemimpin dari sebuah klub seperti Liverpool, kata Rodgers, tugasnya tidak hanya
kepada pemain, tapi juga memberi harapan kepada suporternya. Kotrak emosional
dengan para suporter setara dengan kontrak kerja dengan klub.
The Red's Supporters |
Setelah bertemu
dengan Margaret Aspinall dan Jenni Hicks yang tak kenal lelah untuk mencari
keadilan buat anak-anaknya yang tewas ketika menonton laga semifinal Piala FA
1989 antara Nottingham Forest dan Liverpool di tempat netral, Stadion
Hillsborough, Sheffield, Rodgers merasa mempunyai tanggung jawab yang besar
kepada mereka.
“Mereka adalah
sebuah kelompok yang berjuang selama 23 tahun dan bisa Anda bayangkan
perjalanan mereka? Ada hari baik dan buruk. Tapi mereka terus berjuang.
Keinginan, kemauan, dan ketekunan adalah kata-kata hebat yang berkedip-kedip di
kepala saya ketika pulang ke rumah,” kata Rodgers.
Dua puluh tiga
tahun lalu kepolisian setempat membuat keputusan yang aneh ketika menempatkan
suporter Liverpool yang jumlahnya lebih besar daripada pendukung Nottingham di
tribun Leppings Lane End yang hanya berkapasitas 15 ribu penonton. Ini membuat tempat tersebut
begitu padat dengan pagar pembatas dari besi, dan itulah penyulut tragedi.
Setelah bertahun-tahun, Asosiasi Sepak Bola Inggris dan polisi akhirnya
mengakui itu adalah kesalahan mereka.
Hillsborough Tragedy |
Rodgers waktu
itu masih berusia 16 tahun dan menyimak tragedi tersebut dari seberang lautan
Irlandia. Ia kini berusia 39 tahun dan menjadi Manajer Liverpool pada salah
satu era yang bersejarah buat klub legendaris ini. Setelah 23 tahun, akhirnya
suporter The Reds memperoleh kejelasan bahwa tragedi Hillsborough adalah bukan
karena ulah mereka, melainkan kesalahan pihak penyelenggara dan aparat
keamanan.
Sebelum bersedia
menerima tawaran sebagai Manajer Liverpool musim panas ini, ia telah membaca
sejarah klub dan tragedi-tragedi yang mengiringi perjalanan mereka.
Kemampuannya untuk membawa Si Merah kembali berjaya masih belum terbukti.
Perjalanan masih panjang di sebuah kompetisi yang keras dan melelahkan seperti
Liga Primer Inggris ini. Tapi ia sudah tahu bagaimana berlaku dan bersikap. Ia
harus menjadi pribadi terhormat yang memberikan teladan di dalam dan di luar
lapangan.
“Sepak bola
begitu indah. Aku mencintai setiap menit menjadi seorang manajer. Tapi hidup
jauh lebih penting. Namun, apa yang bisa diberikan oleh sepak bola kepada
keluarga dan korban yang selamat adalah harapan,” kata Rodgers.
Olahraga | Harian Tempo Minggu | 23 September 2012
| Prasetyo
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.