Langsung ke konten utama

Para Kesatria



Foto: JPNN.com

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta berakhir dengan melahirkan para kesatria. Ini memberi harapan bahwa Indonesia ke depan bisa lebih baik jika dijadikan barometer dan pelajaran berharga. Tak ada kerusuhan dan mudah-mudahan tak ada saling gugat, karena para kesatria sudah berada dalam posisinya yang benar.

Joko Widodo alias Jokowi – nama populernya – kesatria yang lugu. Ia tak meledak-ledak, bicaranya tidak begitu “tinggi”, apa adanya. Kalau masih ingat Ali Sadikin memimpin Jakarta, suara Bang Ali menggelegar, ia kesatria yang gagah, keras, tegas, dan jika perlu kasar – dengan menempeleng orang, misalnya. Bang Ali menghalalkan judi untuk pembangunan, dan Jakarta pun berbenah cepat. Zaman itu Jakarta memerlukan kesatria seperti Ali Sadikin, dan kita tahu bahwa Bang Ali adalah gubernur yang nyaris jadi legenda.

Dibandingkan dengan Ali Sadikin, Jokowi sama sekali berbeda. Kesatria Solo ini jangankan bicara meledak-ledak, mengucapkan pernyataan saja seperti tidak lancar berbahasa Indonesia. Bagaimana mungkin Jokowi akan menempeleng warga Jakarta yang membandel, bahkan Satuan Polisi Pamong Praja saja akan dilucuti pentungannya. Tapi ia berjanji bertindak tegas menertibkan warga Jakarta, bukan dengan tamparan atau pentungan, melainkan dengan hati, kejujuran, dan penampilan apa adanya. Barangkali gaya kesatria seperti ini akan mengubah wujud Jakarta, ibu kota akan jadi kemayu dan tidak grasa-grusu seperti sekarang.

Fauzi Bowo alias Foke – nama populernya – ternyata pula seorang kesatria yang bijak, begitu pemungutan suara berakhir. Pada saat orang-orang sekelilingnya masih berperan sebagai “buto cakil” dan membuat pernyataan “ah, ini kan hasil quick qount, hasil KPU bisa beda” atau “belum ada yang menang dan kalah, tunggu keputusan resmi KPU”, Foke sudah memberi ucapan selamat kepada Jokowi. Hanya seorang kesatria sejati yang bersedia mengaku kalah kepada kesatria yang kebetulan saat itu unggul. Jagat kesatria adalah pertarungan kehormatan yang melibatkan seluruh rakyat. Ucapan selamat Foke kepada Jokowi tidak hanya menentramkan rakyatnya, tetapi yang lebih penting adalah menyatukan kembali perbedaan yang telah muncul selama pertarungan. Masyarakat jadi terdidik dan semakin cerdas. Foke akan dikenang sebagai tokoh berjiwa kesatria yang melindungi warganya.

Sejatinya masyarakat Jakarta itu memang warga yang cerdas – lagi-lagi contoh yang menggembirakan jika ditularkan ke daerah lain, untuk Indonesia yang lebih baik. Gempuran bertubi-tubi ditunjukkan kepada Jokowi, dari yang “seperti ada benarnya”, lalu yang “benar-benar ngawur”, sampai pada yang “benar-benar tidak benar”. Di dunia maya, nyaris setiap detik bermunculan dosa-dosa Jokowi yang diumbar oleh akun-akun anonim – boleh disebut akunnya para “buto”. Ternyata ini bumerang, satu kejelekan Jokowi diumbar, ribuan simpati bertambah.

Pelajaran penting lain, tidak lakunya isu SARA, terutama dibawa-bawanya masalah agama dan etnis untuk mencari pemimpin yang warganya majemuk. Jakarta mencari gubernur untuk mengurusi masalah kemacetan, banjir, ketimpangan sosial, bukan untuk memimpin ritual keagamaan, jadi apa perlunya seiman atau tidak?

Pemilihan Gubernur Jakarta ini pasti akan menginspirasi Pemilu Presiden 2014. Su harus dikemas dengan baik, fitnah akan menjadi bumerang, figure lebih penting daripada dukungan partai. Masalahnya, adakah kesatria muda yang dimunculkan oleh partai – hanya partai yang bisa mencalonkan – karena yang digadang saat ini jauh dari kesatria sejati, dan itu pun sudah pada sepuh pula.

Cari Angin | Putu Setia | Harian Tempo Minggu | 23 September 2012 

Komentar

Postingan populer dari blog ini