Lebaran adalah ketupat dan
permintaan maaf. Ada unsur perut, tentu, tapi sekaligus juga unsur yang tidak
hanya perut. Dan tentu saja tidak hanya perutku sendiri.
Permintaan maaf adalah sebuah
isyarat yang mengakui: saya salah. Saya salah dalam bersikap terhadap dan
berbicara tentang orang lain, tentang keadaan di luar diri saya, tentang dunia
yang tak termasuk kesadaran saya. Permintaan maaf adalah sebuah pengakuan bahwa orang selalu hidup
dengan tafsir, dalam tafsir, dan karena tafsir. Tak ada kenyataan yang terkena tafsir. Tak ada fakta yang tak
terpoles, tak diwarnai, sikap seseorang dan masyarakatnya dalam membaca
kenyataan atau fakta itu.
Dan tidak tiap tafsir dapat
dikomunikasikan dengan sempurna ke orang lain, karena orang lain itu juga punya
polesannya sendiri.
Itu sebabnya, pemahaman penuh
dan kesepakatan adalah sebuah utopia. Kesadaran tentang ini tak serta merta
akan berakhir dengan putus asa. Ia bahkan sesuatu yang mendorong kita untuk
berusaha-meskipun (atau justru karena) tiap kali tak sepenuhnya tercapai.
Permintaan maaf berarti saya telah salah paham, dan saya tak ingin terus menerus
salah paham.
Kita adalah subyek yang
terbelah karena kita masing-masing terpaut pada ketupat-sebuah kondisi yang tak
perlu dan tak sepatutnya dikutuk. Mau tak mau dengan seluruh kecerdasan kita,
kita selamanya ada dalam sesuatu yang “somatis”, yang jasmani, yang
kadang-kadang merasakan lapar-dan-dahaga dan memandang dunia dengan kondisi
itu.
Itu sebabnya, tiap hari
Lebaran, atau lebih persis lagi selama puasa, saya meragukan Hegel. Ia
menganggap bahwa pada dasar dunia yang jasmani ada “roh” (Geist) yang menjadikan dunia sebuah realita yang esensial bersifat
rohani. Tapi kenyataannya selama 30 hari itu saya sibuk dengan tubuh saya-agar
tidak dilanda nafsu, agar merasakan lapar, agar menahan gejolak hati-itu
menunjukkan bahwa yang “somatis” demikian penting. Ia tak terpisah dengan
rohani. Bahkan bisa dikatakan, roh bukanlah sesuatu yang sepenuhnya membentuk
subyek yang bisa mengatasi tubuh dan melintasi batas dunia - “subyek yang
transendental”. Roh justru dibentuk dalam sejarah, bukan di luar sejarah.
Kerinduan kepada Tuhan,
kecintaan kita kepada yang indah, yang adil, dan yang benar, jalin-menjalin
dengan apa yang tak putus-putusnya merundung manusia: kekurangannya.
Kaum Buddhis menyebutnya sansȃra. Kata yang dalam bahasa
Indonesia berkembang menjadi pengertian yang ekuivalen dengan “penderitaan”
(“ke-sengsara-an”) ini sebermula berarti “perjalanan” atau “keadaan mengalir”
yang tak henti-henti. Perjalanan ini adalah siklus yang terbentuk dari
kelahiran, lalu menua-melapuk, dan kemudian mati. Proses itu, perjalanan
sejarah itu, bagi Buddhisme bukanlah sebuah cerita sukacita. Justru air mata
tumpah dari saat ke saat. Begitu pedih dan begitu hakiki, hingga air mata yang
terurai dalam transmigrasi kehidupan itu diibaratkan lebih dahsyat ketimbang
empat buah samudera.
Transmigrasi yang penuh air
mata itu menunjukkan bahwa manusia bukanlah roh. Atau dikatakan secara lain,
yang disebut “roh” dalam riwayat manusia (seperti yang dilihat Hegel)
sebenarnya adalah sebuah proses dalam ruang dan waktu. Selama itu, beragam
manusia berinteraksi, saling memberi dampak, konstruktif ataupun destruktif.
Yang menggerakkannya adalah hasrat, atau impuls, yang lahir karena kekurangan
dan ingin mengatasi kekurangan, ingin lepas dari sansȃra.
Kita tahu, kekurangan senantiasa
terpaut dengan badan, karena badan senantiasa terbatas. Memang ada saat-saat
ketika ruang dan waktu itu bisa diatasi, dan itulah saat dari “yang rohani”.
Tapi, seperti dalam kritik Adorno terhadap Hegel: semua yang rohani sebenarnya
adalah “impuls jasmani yang berubah, modifiziert
leibhafter impuls.
Tentu akan keliru apabila kita
kemudian hanya memandang yang jasmani, yang merindukan ketupat, sebagai
gambaran satu-satunya tentang manusia. Tapi kiranya bisa dijadikan semacam awal
kearifan untuk melihat lapar-dan-dahaga sebagai metafor yang menegaskan bahwa
tubuh kita sebenarnya membimbing kita. Seperti telah tersirat di atas,
kekurangan, atau dengan kata lain lapar-dan-dahaga, menggerakkan kita untuk
membuat sejarah, namun pada saat yang sama membuat kita tak sepenuhnya tahu ke
mana persis arahnya.
Kita ibarat berada dalam arus laut, yang bergerak terus,
dan tak pernah ada dermaga dari mana kita bisa meninjau hamparan gelombang itu.
Kita selamanya terapung. Dan kita terapung di sana “lebih ringan ketimbang
gabus penyumbat botol”, kata Hegel.
Tapi Hegel seorang optimis. Di
laut itu, dengan botol yang terbatas sekalipun, katanya, pada saatnya akan ada
ujung samudra, akan ada tepian yang tenang: “akhir sejarah”. Sebab kapal kita
kuat, jika kita juga memperkuat diri. Digambarkan secara lain, setelah puasa
panjang, di mana roh kita menegaskan diri di dalam kita, akan ada Lebaran yang
akan merayakan pencapaian manusia.
Tapi bagi saya, mungkin lebih
baik ada Lebaran yang akan meluangkan maaf sesama manusia. Sebab sebenarnya tak
ada perbedaan prinsipiil antara puasa dan ujungnya: dalam sansȃra yang panjang, tak hanya
air mata yang tumpah, tapi juga kegembiraan ala Lebaran, betapapun
bersahajanya. Sementara itu, setelah berabad-abad menghuni planet ini, manusia
menyadari bahwa riwayatnya dibangun dari harapan besar untuk bisa melepas
lapar-dan-dahaga, tapi juga dibentuk oleh pelbagai salah sikap dan salah
sangka.
Maka,
meskipun Lebaran masih beberapa hari lagi, maafkan lahir batin.
TEMPO Majalah | 13-19 Agustus 2012 | Goenawan Mohamad
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.