Langsung ke konten utama

Antara Kharis Suhud, Try Sutrisno, dan AM Fatwa

Di tengah suasana Idul Fitri 1433 Hijriah, Senin (20/8), mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, AM Fatwa, hadir di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta. Mereka menghadiri pemakaman Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat periode 1987-1992 Kharis Suhud yang meninggal karena sakit.

Siang itu, Try dan Fatwa duduk berdampingan di deretan paling depan kursi pelayat. Baju mereka juga sama, batik dengan warna dasar hijau. Bedanya, Try memakai batik lengan panjang, sedangkan Fatwa mengenakan batik lengan pendek.

Kharis, Try, dan Fatwa saling berhubungan. Fatwa mengaku sebagai anggota legislatif sering menerima masukan dari Kharis yang hingga saat-saat akhir hidupnya masih sering berkunjung ke kompleks parlemen.

Kharis yang terakhir berpangkat letnan jenderal purnawirawan itu adalah senior Try di TNI. Saat Kharis menjadi ketua parlemen, Try Sutrisno menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) dan kemudian Panglima TNI pada 1988-1993.

Sebelum menjadi kasad pada tahun 1986, Try menjabat panglima Daerah Militer (Pangdam) Jakarta Raya. Di era Try ini pula meletus peristiwa 12 September 1984 yang kemudian lebih dikenal dengan peristiwa Tanjung Priok. Karena dituduh terlibat dalam peristiwa itu, Fatwa ditangkap, diadili, dan kemudian divonis hukuman 18 tahun penjara.

Saat ditanya tentang Peristiwa Tanjung Priok dan kaitannya dengan Kharis dan Fatwa, Try menjawab, "Itu Sejarah". Sejarah memang mencatat, Try telah menggelar islah dengan sejumlah korban peristiwa itu.

Sementara Fatwa menegaskan, yang dialaminya di masa Orde Baru bukanlah persoalan pribadi, tetapi karena dia melawan sistem pada saat itu. "Secara pribadi tidak ada persoalan. Ketika (mantan Presiden) Soeharto meninggal, saya juga hadir di pemakamannya," ucap Fatwa.

Masalah pribadi memang perlu dibedakan dengan masalah publik atau politik. Hatta memilih mundur jabatannya sebagai wakil presiden pada tahun 1956, antara lain karena punya sejumlah perbedaan dengan Presiden (saat itu) Soekarno. Namun, di saat-saat akhir hidup Soekarno, pada 1970 Hatta menjenguknya di Wisma Yoso. Hatta pula yang menjadi wali nikah saat Guntur Soekarno menikah pada 1970.

Alangkah indah jika para politisi berjiwa besar hingga memisahkan persoalan pribadi dengan masalah publik atau politik. Apalagi, jika mereka tak memanfaatkan jabatan politik/publik untuk kepentingan pribadi, atau sebaliknya.

SISI LAIN ISTANA | HARIAN KOMPAS 24 AGUSTUS 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini