Langsung ke konten utama

Mengadili Penganiaya Jurnalis

Editorial TEMPO
Jum at, 01 Juni 2012

Sulit untuk menilai bahwa pemerintah telah serius menjamin kemerdekaan pers. Pembredelan media memang tak terjadi lagi. Tapi banyaknya kekerasan yang dialami jurnalis jelas menunjukkan lemahnya pemerintah menjaga amanah konstitusi ini. Apalagi para pengancam atau penganiaya wartawan kerap luput dari jerat hukum.

Lihatlah, dalam sepekan ini sederet kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis terjadi secara berturut-turut. Di Padang, Sumatera Barat, sejumlah serdadu dari Kesatuan Marinir Angkatan Laut memukuli tujuh jurnalis yang sedang meliput penertiban warung remang-remang. Akibatnya, para kuli tinta itu menderita luka memar dan trauma. Tak hanya menganiaya, para serdadu tersebut juga merusak kamera yang digunakan wartawan.

Kekerasan lain berlangsung di Batam. Kali ini pelakunya seorang tentara anggota Komando Distrik Militer setempat. Dia merampas kamera milik seorang jurnalis televisi yang sedang meliput antrean akibat kelangkaan bahan bakar minyak di sebuah stasiun pengisian bahan bakar. Si tentara juga menghapus sebagian rekaman gambar di kamera tersebut. Penganiayaan seperti ini juga terjadi di Sikka, Nusa Tenggara Timur. Pelakunya adalah pegawai Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat yang marah karena namanya ditulis dalam berita.

Amat memprihatinkan, perbuatan menghalangi kegiatan jurnalis seperti itu masih terus berlangsung di republik ini. Padahal negara jelas menempatkan aktivitas mencari dan menyampaikan informasi sebagai hak asasi manusia. Hak ini dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dinyatakan pula dalam konstitusi bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Tak hanya melanggar prinsip ini, para pengancam wartawan merampas hak masyarakat mendapatkan informasi yang akurat karena terganggunya kerja jurnalistik.

Kepolisian memang telah menyidik pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Sikka. Polisi Militer di Padang juga sudah menahan para serdadu marinir yang menganiaya tujuh jurnalis di sana. Sedangkan Komandan Tentara di Batam berjanji menghukum anak buahnya yang merampas kamera wartawan.

Hanya, kita tetap khawatir pengusutan kasus itu hanya basa-basi. Soalnya, banyak sekali kasus penganiayaan wartawan yang selama ini tidak dibawa ke pengadilan. Padahal mengganggu tugas jurnalistik jelas melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Disebutkan pula dalam pasal 18 undang-undang yang sama bahwa setiap tindakan yang menghalangi kebebasan pers bisa dipidana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semestinya memerintahkan Kepala Polri dan Panglima TNI mengusut tuntas semua kasus kekerasan terhadap wartawan itu. Tentara yang terlibat sebetulnya juga bisa diadili di peradilan umum bila Panglima TNI mengizinkan pembentukan tim penuntut koneksitas. Tanpa adanya upaya pemerintah membawa sederet kasus itu ke pengadilan, kita akan sulit mengatakan adanya jaminan kebebasan pers di negeri ini.

Komentar

Posting Komentar

Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.

Postingan populer dari blog ini