Langsung ke konten utama

Cukup 256 Hari


Oleh: Richard Aikman*/Tabloid Soccer/10 Maret 2012

Selasa, 21 Februari, malam di Stadion San Paolo. Andre Villas-Boas berjalan gontai dengan kepala tertunduk usai timnya kalah 1-3 dari tuan rumah, Napoli. Manajer Chelsea itu seolah paham tengah berjalan menuju lorong kematian.

Tepat 12 hari setelah pertandingan di San Paolo itu, pintu kematian itu benar-benar terbuka. Usai kekalahan ketujuh yang diderita Chelseaa di Premier League, Villas-Boas dipecat dari kursi manajer.

Pemecatan Villas-Boas memang sudah diperkirakan, namun tetap menjadi sebuah kejutan lantaran pada musim ini, Roman Abramovich lebih sabar. Jumlah 40 laga dengan masa kerja 256 hari di klub lain mungkin bisa dikatakan sebentar. Tapi di klub dengan ambisi besar seperti Chelsea, periode itu terbilang cukup lama.

Ingat, Jose Mourinho dicopot dari jabatan manajer dan digantikan dengan Avram Grant ketika musim baru berjalan. Begitu juga dengan Luiz Felipe Scolari yang dipecat ketika memasuki Februari. Jadi, bisa dikatakan Villas-Boas lebih bisa survive dengan tekanan yang demikian besar dari sang pemilik klub. Apalagi, Abramovich selalu berharap segalanya diraih secara instan.
Hal itu jelas sangat sulit. Kenginan meraih prestasi instan justru bisa membuat klub menjadi tidak stabil. Dan, bukankah Chelsea rela merogoh kocek hingga 13 juta pounds sebagai kompensasi Villas-Boas ke Porto untuk membentuk kesuksesan di masa depan?

Kota Roma tidak dibangun dalam satu hari. Begitu juga dengan klub sepak bola. Dominasi yang ditunjukkan Manchester United dalam dua dekade ini tak lepas dari masa sulit selama tiga musim pertama yang dialami Sir Alex Ferguson. Beberapa orang mungkin masih mengingat spanduk di Old Trafford yang bertuliskan, “Sudah tiga musim dapat bertoleransi tapi gelar belum diraih. Selamat tinggal, Fergie!”

Manajemen Man. United begitu sabar dalam memberikan kesempatan kepada Fergie untuk membuktikan diri. Hal itu tak lepas dari ekspektasi sang bos. Fergie datang ke Old Trafford pada 1986 setelah Red Devils tak memenangi gelar juara selama 19 tahun.

Beda halnya dengan Villas-Boas. Dia datang dengan ekspektasi begitu tinggi karena The Blues tengah berada pada masa keemasan usai ditangani Jose Mourinho dan Carlo Ancelotti. Tak cukup sekadar ekspektasi meraih kemenangan. Pun meraihnya dengan cara yang elegan.

Abramovich berharap Chelsea menjadi seperti Barcelona. Ketika para pemain muda jebolan akademi menjadi tulang punggung tim utama. Taipan asal Rusia itu juga menginginkan klubnya punya filosofi kemenangan seperti di AC Milan, “Vincere e convincere” yang punya arti secara harfiah: menang dan meyakinkan. Tapi masalahnya, Abramovich menginginkan itu semua “kemarin”!

Tentunya tugas berat bagi Villas-Boas. Pelatih muda yang punya filosofi sepak bola menyerang itu harus mengubah skema permainan pragmatis yang begitu melekat di Chelsea sejak era Mourinho hingga Ancelotti yang digantikannya. “Terlalu banyak tekanan untuk menggantinya,” keluh pelatih berusia 34 tahun itu.

“Saya setuju dengan Louis van Gaal yang mengatakan, lebih sulit untuk mempertahankan filosofi menyerang. Lebih mudah memang untuk bermain bertahan dengan menciptakan organisasi pertahanan yang baik, dibandingkan mempertahankan permainan penuh kreativitas, talenta, dan menyerang secara berkesinambungan. Selalu ada pertentangan dalam tim untuk dua paham itu. Untuk mengatasinya, jelas tak mudah,” sambung Villas-Boas.

TANPA KHARISMA

Kekalahan dari West Bromwich Albion dan Napoli seolah hanya syarat formal pemecatan Villas-Boas. Tapi, penyebab utama pemecatannya lebih ke arah faktor internal. Villas-Boas sudah kehilangan tempatnya di kamar ganti. Rombongan pemain senior yang kini dinomorduakan, merasa kecewa. Dan, mereka punya kesempatan untuk menyerang balik lantaran hasil yang diraih Chelsea dengan filosofi baru ala Villas-Boas, tidak sesuai harapan.

Sikap resisten dari para pemain “tua” itu sebenarnya juga pernah dialami Arsene Wenger ketika pertama kali datang ke Arsenal. Namun, manajer asal Prancis itu lantas membuktikan diri dengan meraih double winners pada musim berikutnya. Sementara Villas-Boas, tak memiliki kesempatan seperti yang didapat Wenger.

Posisi kelima di klasemen sementara Premier League dinilai tak cukup. Jika itu terus bertahan hingga akhir musim, Chelsea akan kehilangan kesempatan tampil di Liga Champions musim depan. Padahal, Chelsea butuh tampil di Liga Champions demi menjaga neraca keuangan tetap biru. Ingat, ada aturan UEFA Financial Fair Play yang harus ditaati jika Chelsea mau berlaga di kompetisi antarklub eropa itu.

Tak mungkin Abramovich mau mengeluarkan uangnya secara cuma-cuma untuk menutup utang klubnya. Terlebih, dia sudah mengeluarkan 64 juta pounds hanya untuk mengangkat dan memecat manajer dalam empat tahun terakhir.

Karenanya wajar apabila Abramovich begitu irit belanja pemain musim ini. Villas-Boas tak dibekali dana cukup untuk belanja pemain. Paling banter, pembelian Juan Mata dan Raul Meireles yang benar-benar sesuai keinginan Villas-Boas dalam membentuk tim. Sementara Gary Cahill datang terlambat.

Jika kondisi ini semua terjadi lantaran keserakahan Abramovich, lantas apakah Villas-Boas tak pantas disalahkan? Tentu tidak. Hal pertama yang seharusnya dia lakukan adalah berdamai dengan para pemain senior. Lain itu, dia seharusnya tidak kaku dengan keukeuh memaksa pola 4-3-3 setelah hanya bisa meraih lima kemenangan dalam 16 laga terakhir. Beberapa pemain pun terlihat kurang nyaman dengan skema tersebut.

Kini, tongkat estafet Villas-Boas beralih ke tangan Roberto Di Matteo. Media-media juga mulai berspekulasi soal manajer Chelsea musim depan. Hanya pelatih dengan mental baja dan sedikit “gila” yang mau menerima tantangan besar di Chelsea. Siapakah dia?

Komentar

Postingan populer dari blog ini