Pagi itu adalah pagi pertama diawal bulan November. Bulan yang paling ditunggu banyak petani karena pada bulan inilah hujan akan turun dengan intensitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air sawah para petani itu. Di sudut kota ini, aku termenung didalam kamar kostku memandang tugas-tugas yang menumpuk di meja belajarku.Tugas-tugas itu terasa sangat menjengkelkan karena terasa seakan menuntut sebagian besar waktuku. Sekarang aku adalah seorang mahasiswa tingkat 4 di sebuah universitas besar di kota ini.Walau sudah tingkat 4 tetap saja aku tidak dapat mengatur waktuku untuk menyelesaikan semua tugas-tugas itu. Sementara aku termenung, aku melihat sebuah foto usang yang terselip diantara buku-buku kuliahku. Foto itu ternyata adalah fotoku bersama keluarga yang diambil sebelum aku berpamitan untuk pergi menuntut ilmu di kota.
Hampir 2 tahun aku sudah tidak pernah lagi bertemu keluargaku. Rasa kangen terhadap keluargaku di kampung harus kupendam sementara untuk tetap fokus terhadap studiku. Tetapi aku masih tetap menghubungi mereka hanya lewat telepon atau sms di akhir minggu. Walau aku tidak dapat bertemu langsung aku masih bersyukur dapat mendengar suara ibu yang keluar lewat telepon HP tuaku ini. Dua lebaran pun telah aku lewati, keterbatasan dana untuk pulang yang memaksaku untuk tetap merayakan Lebaran di kota ini.
Untuk memenuhi semua kebutuhan hidupku, kiriman orang tua tidaklah cukup. Keadaan ini pula yang memaksaku untuk mengambil sebuah tawaran part time job dari seorang kenalanku. Pekerjaanku tidaklah terlalu buruk, yakni aku diminta untuk mengajarkan les Bahasa Inggris untuk siswa SD dan SMP di sebuah lembaga bimbingan belajar. Hasil jerih payahku ini selalu aku sisihkan untuk uang pulang kampung nanti.
Hari-hari terus berjalan dan aku tetap menjalani rutinitasku sebagai mahasiswa sekaligus guru. Suatu hari saat hujan turun dengan sangat lebat, aku melihat Irwan, temanku sejak dari SMA yang kini mengambil jurusan teknik kimia di universitas ini. Kami memang sudah lama tidak bertemu apalagi berbincang-bincang. Kini waktulah yang kupersalahkan. Kulihat Irwan sedang memangku setumpuk buku-buku kuliah yang sangat tebal. Kursi rodanya terlihat sangat sulit dikendalikan olehnya ditengah hujan ini. Irwan pernah mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan kaki kirinya harus diamputasi dan dia harus duduk di kurso roda.
Aku mengambil inisiatif untuk menolong teman lamaku itu. Saat kudekati dia, aku menawarkan untuk mendorong kursi rodanya. Dia membalas dengan senyuman diwajahnya. Hujan semakin deras, bajuku juga semakin berat karena basah. Aku terus mendorong kursi rodanya dan dia memayungkan sebuah payung agar kami tidak basah kuyub. Jarak rumah kost Irwan sebenarnya tidak terlalu jauh tetapi hujan telah membuat pikiranku mengiterpretasikannya menjadi jauh.
Setelah sampai didepan pintu kamarnya, Irwan mempersilahkan aku masuk sejenak. Kupikir tidak ada salahnya juga aku masuk sembari menunggu hujan reda. Kamar Irwan bagiku berukuran cukup luas untuk sebuah kamar kost. Didalamnya semua benda-benda tertata dengan rapi. Sangat rapi untuk ukuran kamar pemuda. Aku tidak habis pikir bagaimana Irwan menata semua ini dengan segala keterbatasan fisik yang dimilikinya.
Irwan membuatkanku secangkir teh panas. Teh ini dibawa dari hasil kebun teh keluarga miliknya di Sukabumi sana. Hangatnya teh seakan menghilangkan jarum-jarum dingin yang menyengat sejak tadi. Kami berbincang-bincang ternyata dia telah mengetahui cara menikmati hidup walau dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya. Kuncinya adalah selalu bersyukur dan berpikir positif. Dengan pikiran positifnya itu yang mampu menguasai ego dalam dirinya dalam menerima kenyataan setelah kecelakaan itu.
Hujan sudah reda di luar sana. Rasanya saatnya aku meminta ijin untuk pulang. Sepanjang perjalanan di angkutan kota, pikiranku terus melayang teringat segala sesuatu yang kudapatkan dari rumah Irwan itu. Aku merasa malu, kenapa aku masih mengeluh bila tugas-tugasku menumpuk, selalu mengeluh walau hanya karena air mandi terasa dingin di pagi hari. Irwan yang selama ini tak pernah kutemui itu telah merubah pikiranku untuk menjadi manusia yang selalu bersyukur dan fight menghadapi kehidupan ini.
Angkutan kota ini terus melaju dibawah pelangi di angkasa....
Hampir 2 tahun aku sudah tidak pernah lagi bertemu keluargaku. Rasa kangen terhadap keluargaku di kampung harus kupendam sementara untuk tetap fokus terhadap studiku. Tetapi aku masih tetap menghubungi mereka hanya lewat telepon atau sms di akhir minggu. Walau aku tidak dapat bertemu langsung aku masih bersyukur dapat mendengar suara ibu yang keluar lewat telepon HP tuaku ini. Dua lebaran pun telah aku lewati, keterbatasan dana untuk pulang yang memaksaku untuk tetap merayakan Lebaran di kota ini.
Untuk memenuhi semua kebutuhan hidupku, kiriman orang tua tidaklah cukup. Keadaan ini pula yang memaksaku untuk mengambil sebuah tawaran part time job dari seorang kenalanku. Pekerjaanku tidaklah terlalu buruk, yakni aku diminta untuk mengajarkan les Bahasa Inggris untuk siswa SD dan SMP di sebuah lembaga bimbingan belajar. Hasil jerih payahku ini selalu aku sisihkan untuk uang pulang kampung nanti.
Hari-hari terus berjalan dan aku tetap menjalani rutinitasku sebagai mahasiswa sekaligus guru. Suatu hari saat hujan turun dengan sangat lebat, aku melihat Irwan, temanku sejak dari SMA yang kini mengambil jurusan teknik kimia di universitas ini. Kami memang sudah lama tidak bertemu apalagi berbincang-bincang. Kini waktulah yang kupersalahkan. Kulihat Irwan sedang memangku setumpuk buku-buku kuliah yang sangat tebal. Kursi rodanya terlihat sangat sulit dikendalikan olehnya ditengah hujan ini. Irwan pernah mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan kaki kirinya harus diamputasi dan dia harus duduk di kurso roda.
Aku mengambil inisiatif untuk menolong teman lamaku itu. Saat kudekati dia, aku menawarkan untuk mendorong kursi rodanya. Dia membalas dengan senyuman diwajahnya. Hujan semakin deras, bajuku juga semakin berat karena basah. Aku terus mendorong kursi rodanya dan dia memayungkan sebuah payung agar kami tidak basah kuyub. Jarak rumah kost Irwan sebenarnya tidak terlalu jauh tetapi hujan telah membuat pikiranku mengiterpretasikannya menjadi jauh.
Setelah sampai didepan pintu kamarnya, Irwan mempersilahkan aku masuk sejenak. Kupikir tidak ada salahnya juga aku masuk sembari menunggu hujan reda. Kamar Irwan bagiku berukuran cukup luas untuk sebuah kamar kost. Didalamnya semua benda-benda tertata dengan rapi. Sangat rapi untuk ukuran kamar pemuda. Aku tidak habis pikir bagaimana Irwan menata semua ini dengan segala keterbatasan fisik yang dimilikinya.
Irwan membuatkanku secangkir teh panas. Teh ini dibawa dari hasil kebun teh keluarga miliknya di Sukabumi sana. Hangatnya teh seakan menghilangkan jarum-jarum dingin yang menyengat sejak tadi. Kami berbincang-bincang ternyata dia telah mengetahui cara menikmati hidup walau dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya. Kuncinya adalah selalu bersyukur dan berpikir positif. Dengan pikiran positifnya itu yang mampu menguasai ego dalam dirinya dalam menerima kenyataan setelah kecelakaan itu.
Hujan sudah reda di luar sana. Rasanya saatnya aku meminta ijin untuk pulang. Sepanjang perjalanan di angkutan kota, pikiranku terus melayang teringat segala sesuatu yang kudapatkan dari rumah Irwan itu. Aku merasa malu, kenapa aku masih mengeluh bila tugas-tugasku menumpuk, selalu mengeluh walau hanya karena air mandi terasa dingin di pagi hari. Irwan yang selama ini tak pernah kutemui itu telah merubah pikiranku untuk menjadi manusia yang selalu bersyukur dan fight menghadapi kehidupan ini.
Angkutan kota ini terus melaju dibawah pelangi di angkasa....
Hmm...
BalasHapus