Esok merupakan hari ke-9 di Bulan Ramadan. Bagaimana dengan ibadah puasamu? Semoga masih semangat dalam menjalankannya.
Ramadan kali ini memang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Bahkan generasi yang masih hidup sekalipun tidak pernah merasakannya. Ramadhan dalam keterbatasan.
Terbatas karena adanya anjuran social distancing (jaga jarak sosial), kerja di rumah, sekolah dari rumah, beribadah di rumah, hingga larangan mudik dan pulang kampung (ingat keduanya punya definisi berbeda, bedanya tonton saja tautan ini).
Pandemi Covid-19 ini sudah muncul dari dataran Tiongkok, tepatnya di Kota Wuhan pada akhir Desember tahun lalu. Menyebar ke seluruh pelosok dunia, dan sudah masuk ke Republik ini sejak kasus pertama, 2 Maret silam.
Virus yang menyerupai SARS ini secara tidak langsung merubah semua gaya hidup. Perubahan ini bahkan dirasa sangat cepat dan mengejutkan. Beberapa pihak bahkan memperkirakan inilah saatnya semua umat beralih ke era revolusi 4.0. Sebuah revolusi digital. Apa-apanya digital.
Hampir 40 hari bekerja dirumah, digitalisasi sudah terasa.
Pertama, kebiasaan baru meeting secara online. Anjuran pemerintah untuk bekerja di rumah otomatis mempengaruhi kebiasaan baru ini. Aplikasi Zoom menjadi populer. Orang yang sebelumnya hanya mengetahui Skype dan WA Video Call, jadi menggunakan aplikasi yang bisa menampung video call untuk lebihd dari 100 orang. Sesuatu yang tidak bisa ditandingi oleh Skype maupun WA.
Keadaan ini berdampak baik pada kekayaan pendiri Zoom, Eric Yuan. Isi dompetnya bertambah hingga 66 triliun dalam waktu tiga bulan.
Meski Zoom memiliki banyak kekurangan yang berkaitan dengan keamanan data pengguna, hal ini tidak mempengaruhi penggunaan aplikasi itu dimasa pandemi ini.
Kedua, berdiam di rumah membuat saya lebih sering mengakses informasi secara daring. Mungkin hal ini juga dirasakan oleh Anda.
Saya sebenarnya enggan berlama-lama menatap layar handphone atau laptop lama-lama.
Tetapi keadaan ini memaksa saya untuk beralih jua..
Setiap bulan saya berlangganan harian Kompas cetak. Tapi karena saya mesti Work from Home, daripada koran tidak terbaca dan hanya teronggok di kantor, saya menghentikan langganan. Rumah saya kebetulan beda kota dengan kantor.
Jadilah Kompas.id saya coba. Setelah sebulan berlangganan, saya merasa mulai terbiasa.
Hal ketiga yang berubah, proses belajar mengajar. Kebetulan saya bekerja di salah satu institusi pendidikan. Ada tugas untuk mengampu beberapa praktikum.
Saya juga harus ikut dalam salah satu kelas. Yang kegiatannya hanya menggunakan pesan WA Grup. Ya WA Grup!
Dosen mengirimkan materi malam sebelum kuliah dimulai, esok harinya mahasiswa bertanya jawab di grup.
Hal ini dilakukan selama 2,5 jam. Tanya, Balas, Baca, grup WA.
Kenapa tidak menggunakan Zoom? Banyak kondisi yang belum siap. Kalau saya sih, berat di kuota. Bagaimana tidak, 2,5 jam video untuk 12 pertemuan. Kuota internet saya habis untuk 30 jam video call.
Kuota dan jaringan memang menjadi batasan. Tetapi batasan tidak jarang justru memantik kreatifitas.
Guru dan para pengajar mesti jeli melihat keadaan ini.
Tidak jarang sekarang ditemui di platform Youtube bagaimana membuat video pembelajaran secara mandiri. Semua kekurangan ini terjadi karena terbatasnya persiapan untuk menghadapi keadaan pandemi ini.
Tapi lambat laun, manusia pun akan belajar menyesuaikan pada keadaan.
Dilain sisi, rakyat Indonesia akan diuji dengan status kedermawanannya. Dalam laporan tentang CAF World Giving Index 2018 silam, Indonesia menempati posisi teratas dari 144 negara yang disurvei lembaga ini.
Meski survei sudah dilakukan 2018 silam, saya rasa republik ini masih layak diposisi atas.
Kita lihat selama pandemi ini, banyak warga yang sukarela membagikan sembako dengan menaruhnya di pagar supaya diambil oleh orang yang membutuhkan.
Bantuan ini tanpa embel embel nama untuk sekedar pencitraan palsu belaka.
Semoga semakin banyak dermawan yang terus bergerak bersama untuk menghadapi masa susah ini.
---
Ini tulisan pertama setelah sekian lama vakum. Pastilah banyak kekurangan. Semoga kedepan dapat lebih baik lagi.
Salam.
Kebumen, 9 Ramadan 1441 H / 2 Mei 2020 M
Ramadan kali ini memang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Bahkan generasi yang masih hidup sekalipun tidak pernah merasakannya. Ramadhan dalam keterbatasan.
Terbatas karena adanya anjuran social distancing (jaga jarak sosial), kerja di rumah, sekolah dari rumah, beribadah di rumah, hingga larangan mudik dan pulang kampung (ingat keduanya punya definisi berbeda, bedanya tonton saja tautan ini).
Pandemi Covid-19 ini sudah muncul dari dataran Tiongkok, tepatnya di Kota Wuhan pada akhir Desember tahun lalu. Menyebar ke seluruh pelosok dunia, dan sudah masuk ke Republik ini sejak kasus pertama, 2 Maret silam.
Virus yang menyerupai SARS ini secara tidak langsung merubah semua gaya hidup. Perubahan ini bahkan dirasa sangat cepat dan mengejutkan. Beberapa pihak bahkan memperkirakan inilah saatnya semua umat beralih ke era revolusi 4.0. Sebuah revolusi digital. Apa-apanya digital.
Hampir 40 hari bekerja dirumah, digitalisasi sudah terasa.
Pertama, kebiasaan baru meeting secara online. Anjuran pemerintah untuk bekerja di rumah otomatis mempengaruhi kebiasaan baru ini. Aplikasi Zoom menjadi populer. Orang yang sebelumnya hanya mengetahui Skype dan WA Video Call, jadi menggunakan aplikasi yang bisa menampung video call untuk lebihd dari 100 orang. Sesuatu yang tidak bisa ditandingi oleh Skype maupun WA.
Keadaan ini berdampak baik pada kekayaan pendiri Zoom, Eric Yuan. Isi dompetnya bertambah hingga 66 triliun dalam waktu tiga bulan.
Meski Zoom memiliki banyak kekurangan yang berkaitan dengan keamanan data pengguna, hal ini tidak mempengaruhi penggunaan aplikasi itu dimasa pandemi ini.
Kedua, berdiam di rumah membuat saya lebih sering mengakses informasi secara daring. Mungkin hal ini juga dirasakan oleh Anda.
Saya sebenarnya enggan berlama-lama menatap layar handphone atau laptop lama-lama.
Tetapi keadaan ini memaksa saya untuk beralih jua..
Setiap bulan saya berlangganan harian Kompas cetak. Tapi karena saya mesti Work from Home, daripada koran tidak terbaca dan hanya teronggok di kantor, saya menghentikan langganan. Rumah saya kebetulan beda kota dengan kantor.
Jadilah Kompas.id saya coba. Setelah sebulan berlangganan, saya merasa mulai terbiasa.
Hal ketiga yang berubah, proses belajar mengajar. Kebetulan saya bekerja di salah satu institusi pendidikan. Ada tugas untuk mengampu beberapa praktikum.
Saya juga harus ikut dalam salah satu kelas. Yang kegiatannya hanya menggunakan pesan WA Grup. Ya WA Grup!
Dosen mengirimkan materi malam sebelum kuliah dimulai, esok harinya mahasiswa bertanya jawab di grup.
Hal ini dilakukan selama 2,5 jam. Tanya, Balas, Baca, grup WA.
Kenapa tidak menggunakan Zoom? Banyak kondisi yang belum siap. Kalau saya sih, berat di kuota. Bagaimana tidak, 2,5 jam video untuk 12 pertemuan. Kuota internet saya habis untuk 30 jam video call.
Kuota dan jaringan memang menjadi batasan. Tetapi batasan tidak jarang justru memantik kreatifitas.
Guru dan para pengajar mesti jeli melihat keadaan ini.
Tidak jarang sekarang ditemui di platform Youtube bagaimana membuat video pembelajaran secara mandiri. Semua kekurangan ini terjadi karena terbatasnya persiapan untuk menghadapi keadaan pandemi ini.
Tapi lambat laun, manusia pun akan belajar menyesuaikan pada keadaan.
Dilain sisi, rakyat Indonesia akan diuji dengan status kedermawanannya. Dalam laporan tentang CAF World Giving Index 2018 silam, Indonesia menempati posisi teratas dari 144 negara yang disurvei lembaga ini.
Meski survei sudah dilakukan 2018 silam, saya rasa republik ini masih layak diposisi atas.
Kita lihat selama pandemi ini, banyak warga yang sukarela membagikan sembako dengan menaruhnya di pagar supaya diambil oleh orang yang membutuhkan.
Bantuan ini tanpa embel embel nama untuk sekedar pencitraan palsu belaka.
Semoga semakin banyak dermawan yang terus bergerak bersama untuk menghadapi masa susah ini.
---
Ini tulisan pertama setelah sekian lama vakum. Pastilah banyak kekurangan. Semoga kedepan dapat lebih baik lagi.
Salam.
Kebumen, 9 Ramadan 1441 H / 2 Mei 2020 M
BalasHapustidak terasa pandemi covid telah menemani kita selama 2 tahun ini