Langsung ke konten utama

Antara Fixed dan Growth Mindset, Bisakah Kita Memilih?


Sepekan kemarin, Biro tempat saya bekerja baru saja menyelesaikan sebuah project. Project menyeleksi calon dosen untuk ditempatkan di universitas kami. Sebagai bawahan langsung dari Kepala Biro, saya diserahkan tugas untuk mencari tenaga tambahan dari luar (eksternal). Kita sebut saja “pihak ketiga”. Alasannya sederhana, dengan tenaga asisten hanya tujuh orang, jelas sangat timpang jika diminta untuk menangani hasil tes 180 peserta. Padahal dalam satu psikotes dibagi dalam tiga  subtugas yakni sebagai pengawas jalannya ujian, korektor hasil, dan pemasti kelengkapan berkas.

Saya menghubungi beberapa alumni yang saya kenal, dan juga yang kebetulan masih ‘available’ untuk dimintai tolong. Ternyata tidak mudah untuk menemukannya. Salah satu alasan yang banyak muncul adalah masalah waktu. Kebetulan tes dilaksanakan di hari Ahad. Alokasi waktu untuk pengerjaan skoring hasil, selama dua hari, hingga hari Selasa. Banyak yang keberatan jika harus meluangkan waktu untuk ‘bekerja’ di hari Ahad. Hari Ahad adalah saat yang tepat untuk liburan atau menenangkan diri sejenak setelah sepekan di penati dengan segala rutinitas.

Selain waktu, ada juga yang beralasan tidak berani mengambil resiko membantu. Alasannya karena belum pernah kenal alat tes yang akan menjadi tugas koreksi, dan tantangan tenggat waktu yang sempit. Padahal di awal permintaan bantuan, saya juga sudah jelaskan bahwa akan ada briefing singkat mengenai tata cara pengkoreksian alat tes. Tapi tetap saja yang bersangkutan menolak.

Setelah sepekan proyek ini berlalu dan alhamdulillah selesai dengan baik, saya merenungi kembali pengalaman itu. Kenapa ada individu yang begitu mudah mengabaikan kesempatan ini, tetapi disisi lain ada juga yang berani ‘ambil resiko’ untuk melaksanakan tugas ini?

Sebelumnya, mengenai pihak-pihak yang menolak ikut, jelas itu sebuah pilihan. Pilihan yang saya yakin, telah Anda semua pertimbangkan. Lewat tulisan ini, saya tidak akan mempersoalkan pilihan Anda itu. Saya hormati pilihan Anda.

Mari kita lanjutkan, saya sempat membaca sebuah artikel di harian KOMPAS akhir pekan lalu. Di bagian rubrik pengembangan karir. Kalau tidak salah ingat judulnya adalah “Pentingnya menjaga Sikap”. Sikap disini dapat kita artikan dengan “niat” atau “pola pikir”.

Di artikel itu dituliskan pendapat seorang psikolog, Carol Dweck dari Stanford University yang menyakan bahwa seseorang dapat dibagikan kedalam dua kelompok. Kelompok “Fixed Mindset” dan “Growth Mindset”. Mari kita jabarkan keduanya satu persatu-satu...

Pertama untuk kelompok “Fixed Mindset”, mereka adalah kelompok yang dapat kita kenal dengan “Ah sudahlah”. Ya mereka tidak akan mengambil resiko pada hal-hal yang menurut mereka tidak mampu dikerjakan. Dan juga, meski paham tidak mampu mengerjakan, mereka melihat dirinya tidak akan ada gunanya berusaha untuk sekedar bisa. Mereka terjebak dalam pola pikirnya.

Kedua, kelompok “Growth Mindset”, mereka adalah kelompok yang selalu menantang dirinya. Mereka paham akan kelemahan dirinya, tetapi alih-alih takut mereka justru menantang seberapa jauh batas yang dapat mereka lampaui untuk mengatasi kelemahan itu. Sebuah pekerjaan atau tugas, yang bagi kelompok Fixed mindset adalah kemustahilan, tapi bagi mereka, hal itu adalah tantangan dan itu sudah terpatri dalam benak mereka.

Munculnya Fixed Mindset

Sering kali saya mendengar suatu ucapan sebelum tim saya memulai suatu proyek. Sering pula terjadi ketika proyek itu masih sekedar wacana. Dalam arti, untuk pelaksanaan proyek masih dibicarakan oleh pihak atas (top level) Biro.

Pernah saya mendengar ucapan seperti ini, “Yaah ada proyek lagi.. Pasti banyak nih (peserta) dan lama (waktu pelaksanaan). Kapan tuh tanggalnya?”

Ucapan seperti itu, mungkin sudah jamak terucap dalam suatu kelompok kerja. Tapi menurut saya ini hal yang serius. Kenapa serius? Karena kata-kata itu konteksnya negatif bagi pikiran. Orang ini seakan telah membangun sebuah mental block untuk melaksanakan proyek ini. Saya meyakini jika diawal suatu pekerjaan atau penugasan, Anda telah memberikan penilaian negatif pada hal itu, pastilah saat pelaksanaan tidak akan terlaksana dengan maksimal. Anda akan merasa ogah-ogahan atau mungkin menarik diri dari proyek.

Lalu kenapa bisa muncul? Saya belum mendapatkan literatur mengenai hal ini, tapi saya kira mungkin karena faktor kebosanan dan daya lenting diri terhadap masalah yang rendah. Mendapatkan penugasan yang tidak sepele, jelas mengarahkan ke fase stres. Fase stres yang tidak terkelola dengan baik jelas akan buruk dampaknya pada diri.

Tapi bukankah kita akan berkembang apabila mampu melewati fase stress itu? Sayangnya tidak semua melihat hal itu sebagai sebuah dorongan.

Pernahkan Anda melakukan suatu pekerjaan atau penugasan saat kuliah dulu yang menyita banyak waktu dan tenaga Anda? Anda mesti mengerjakan hingga larut malam karena keesokan harinya tugas tersebut harus dikumpulkan ke dosen? Atau Anda pernah berkonflik dengan anggota tim di kelompok Anda untuk memecahkan suatu persoalan? Dan kini semua itu sudah berlalu dalam hitungan tahun. Mungkin yang kini Anda rasakan adalah sebuah kelegaan di dalam benak dan sebuah senyuman jika Anda mengingatnya lagi.

Ya jika di masa yang lalu Anda berhasil maupun gagal dalam menyelesaikan penugasan itu, pastilah Anda akan mengambil suatu pelajaran darinya.

Itu semua yang tidak akan didapatkan oleh kelompok Fixed Mindset.

Mengembangkan Growth Mindset

Kita semua setelah paham apa yang menjadi kelemahan memang cenderung merasa khawatir, bahkan takut. Semua itu bisa diatasi selama kita menanamkan keyakinan diri.

Suatu ketika, Biro pernah mendapatkan sebuah surat panggilan dari Kantor Pajak. Di surat itu tertulis jika kami harus memberikan konfirmasi mengenai catatan pembayaran yang telah dilakukan. Saya diminta oleh Kepala Biro untuk menyelesaikan urusan ini di Kantor Pajak. Waktu itu saya masih sangat awam untuk tahu bagaimana tentang pajak. Ditambah dengan kepribadian saya yang cenderung terlalu banyak pertimbangan. “Nanti bagaimana disana?”, “Saya akan ketemu siapa?”, “Lalu apa yang harus dilakukan?” itu adalah beberapa kata yang muncul dalam benak saya.

Saya berinisiatif menghubungi seorang kawan yang biasa mengurus pajak. Bertanya tentang ini itu mengenai pajak. Berkunjung ke biro psikologi lain untuk juga menanyai tentang pajak. Waktu itu sudah siang hari dan udara sangat terik, saya seperti di kuliahi mengenai pajak. Padahal yang saya temui itu juga seorang praktisi psikologi. Saya dengarkan seksama, memperhatikan form yang beliau tunjukkan dan mendengarkan cerita-cerita mengenai kantor pajak. Kebanyakan cerita itu seram adanya.

Semakin banyak informasi, semakin menambah keyakinan saya untuk bisa. Sedikit-demi sedikit berusaha meyakinkan bahwa tugas ini akan berguna untuk Biro dan juga pengalaman baru untuk saya.

Akhirnya saya lanjutkan ke kantor pajak. Disana saya menemui orang yang namanya tertulis didalam surat. Selanjutnya saya laporkan proses aliran keungan yang telah terjadi, dan ternyata pegawai pajak ini sangat friendly. Bahkan menawarkan bantuan apabila ada kesulitan dalam menyelesaikan laporan keuangan.

Pengalaman ini jelas sangat berbeda jauh dengan apa yang ada di pikiran saya. Bagaimana jadinya kalau saya menyerah. Saya bisa saja mencari lulusan akuntansi dan Biro bayar dia, selesai urusan. Itu pilihan yang baik, tetapi bukan suatu pilihan yang bijak. Kita bisa mencoba dulu, kalau gagal, evaluasi kegagalan dengan temui ahlinya. Lalu kita coba lagi.

Itu pengalaman pribadi saya. Ada juga ketika saya masih kuliah dan mulai magang di tempat yang sekarang saya bekerja untuknya. Waktu itu tahun 2013 dan Biro memiliki 6 asisten termasuk saya. Diantara keenamnya, saya laki-laki sendiri. Dan kami harus melakukan shift jaga dua hari sepekan. Tanpa bimbingan dan langsung turun.

Waktu itu proyek banyak datang dari kelompok klien individual. Kelompok klien individual ini seperti klien yang memiliki putra/putri penyandang autisme, atau retardasi mental. Jumlahnya tidak sedikit. Bahkan hampir setiap bulan kami menerima tugas untuk mengetes anak-anak istimewa ini.

Saya masih ingat betul, reaksi kawan-kawan saya waktu itu. Tidak ada yang mengeluh mengenai proyek. Mereka cenderung memilih diam, atau mengalihkan kepenatan dengan guyonan, alih-alih mengeluh. Saya masih ingat ketika bertugas berdua dengan Dhini, salah satu rekan asisten, untuk ke salah satu sekolah. Kami berdua mengetes dua orang anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dan tes itu dimulai dari jam 3 sore hingga 8 malam.

Waktu itu rumah Dhini masih di Jalan Kaliurang. Kilometer berapa saya lupa, tapi jauh. Karena tempat klien kami ada di sisi selatan. Tapi hal ini tidak menyurutkan kami, tugas selesai dan kami langsung pulang.

Kawan-kawan lainnya juga tidak kalah hebat. Nuning, Dita, Dewa, dan Farah mereka juga punya keunikan masing-masing dalam menangani klien. Meski katanya, perempuan itu lebih lemah daripada laki-laki, saya justru melihat mereka semua sebagai perempuan yang tangguh. Sangat memalukan jadinya kalau justru saya yang lemah.

Waktu kerja di Biro memang tidak bisa diterka. Ada kalanya sepi order, ada kalanya sangat padat order. Disitulah tantangannya bagi kami para asisten. Bagi mereka yang melihat kepadatan itu sebagai tantangan, maka dia akan mendapatkan pengalaman yang lebih. Namun jika sebaliknya, dia mengeluh terlebih dahulu, yang ia dapatkan tidak lebih dari sebuah rasa capek dan penat.

KITA BISA

Saya yakin semua orang dapat melawan keterbatasan dirinya. Bukan maksud, saya menganjurkan untuk ‘tidak tahu diri’. Kita tetap harus mengukur kemampuan tapi bukan berarti menjadi takut untuk mencoba.

Pertimbangan itu perlu, selama secara logis pula kita memutuskan. Jika Anda tidak dapat melakukan skoring padahal ada opsi latihan, maka kekurangan skill Anda dapat teratasi. Jika Anda ingin santai saat Ahad dan menjadi alasan untuk menolak job, toh masih ada hari Ahad yang lain (tentu selama kiamat belum di acc Allah SWT). Jika Anda belum dapat menghitung pajak, dan ada opsi untuk belajar, ya ambil saja opsi belajar itu. Intinya jangan lari. Bersabarlah dalam mencoba, jika gagal ulangi, jika berhasil, share ke kawan Anda yang lain.

Jika sudah demikian, kita bisa mengarahkan diri menjadi manusia yang bermanfaat. Semoga.

02 April 2016

Revisi :

I :

Komentar

Posting Komentar

Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.

Postingan populer dari blog ini