Bola panas isu redenominasi rupiah mulai bergulir. Suara pro dan kontra mulai bersahutan. Maklum saja, jika terlaksana, redenominasi rupiah akan berimbas pada semua orang yang menggunakan mata uang rupiah sebagai alat transaksi. Karena Indonesia bukan negara pertama, tak ada salahnya belajar dari negara yang gagal dan sukses melakukannya.
Dalam kajian tentang redenominasi, literatur yang banyak dijadikan rujukan, antara lain, tulisan The National Currency Redenomination Experience in Several Countries atau Pengalaman Redenominasi Mata Uang Nasional di Berbagai Negara karya Duca Ioana, seorang akademisi dari Rumania.
Redenominasi sebenarnya memiliki sejarah panjang. Pada abad ke-19 di Eropa, ketika negara kekurangan pasokan emas atau perak, pemerintah sering menyesuaikan nilai mata uang mereka. Itu merupakan bagian dari konsep redenominasi.
Namun, redenominasi dalam bentuk pengurangan atau penyederhanaan anka nol mulai banyak dilakukan di berbagai negara sejak 1923. Ketika Jerman memangkas 12 digit angka nol pada mata uangnya sehingga 1.000.000.000.000 mark = 1 rentenmark. Itu merupakan rekor redenominasi terbesar sepanjang sejarah.
Sejak itu, tercatat ada 50 negara yang melakukan redenominasi. Rekor negara yang paling sering melakukan redenominasi adalah Brasil. Negeri Samba itu tercatat melakukan tujuh kali redenominasi, yakni pada 1967 dengan memangkas 3 angka 0, lalu pada 1970, 1986, 1990, dan 1993, masing-masinjg memangkas 3 angka 0, dan terakhir pada 1994 mengorversi mata uang 2.750 cruzeiros reals mejadi 1 real.
Dalam sejarahnya, pelaksanaan redenominasi tidak selalu mulus. Beberapa negera memang tercatat sukses melaksanakan redenominasi. Namun, ada pula negara yang gagal total dalam pelaksanaannya.
Turki termasuk salah satu negara yang mencatat kisah sukses redenominasi yang lantas banyak dijadikan acuan bagi negara-negara lain yang ingin menerapkan kebijakan serupa. Berawal dari rendahnya nilai tukar mata uang Turki (lira) terhadap dolar AS, pemerintah Turki mulai mencanangkan program redenominasi pada 1998.
Setelah melakukan persiapan berupa konsultasi publik maupun sosialsisasi selama tujuh tahun, redenominasi mulai dilaksanakan pada 1 Januari 2005. Ketika itu, Turki menghilangkan 6 angka 0. Sehingga 1.000.000 lira = 1 new lira.
Sebagai gambaran, pada 2004 atau sebelum redenominasi, nilai tukar mata uang lira terhadap dolar AS sekitar 1,32 juta lira per USD. Setelah redenominasi, nilainya menjadi sekitar 1,32 new lira per USD.
Bagaimana redenominasi Turki sukses? Pertama, Turki melaksanakan redenominasi di awal tahun (1 Januari) sehingga seluruh pembukuan anggaran negara maupun perusahaan bisa langsung dicatat dengan menggunakan mata uang baru hasil redenominasi yang angkanya lebih sedikit.
Kedua, Turki melakukannya secara bertawhap. Pada tahap awal, Turki menerbitkan pecahan mata uang baru dengan kode YTL atau yeni Turkey lira. Yeni merupakan bahasa Turki yang berarti "baru". Dengan demikian, pecahan terbesar mata uang lama yang mencapai TL 20.000.000 diganti menjadi YTL 20.
Setelah redenominasi, Turki memiliki mata uang kertas baru, yakni 1 YTL (menggantikan 1.000.000 TL), 5 YTL, 10 YTL, 20 YTL, 50 YTL, hingga 100 YTL. Sementara itu, untuk mengganti pecahan mata uang terendah yang sebelumnya TL 50.000, Turki menerbitkan mata uang logam pecahan 5 sen yang disingkat YKr 5. Beberapa pecahan uang logam lain juga diterbitkan, yakni 1 YKr, 10 YKr, 25 YKr, dan 50 YKr.
Dengan demikian, total Turki membutuhkan waktu sepuluh tahun, terhitung sejak proses konsultasi dan sosialisasi pada 1998 hingga tuntas 2008. Beberapa literatur menyebut, kunci sukses redenominasi Turki adalah pengawasan ketat pemerintah dalam melakukan stabilisasi harga sehingga ancaman lonjakan inflasi bisa diredam.
Tentu, selain kisah sukses di atas, ada pula kisah Rusia yang gagal total dalam melaksanakan redenominasi. Pada 1998, salah satu negara adikuasa di dunia itu melakukan redenominasi dengan memangkas tiga angka 0 sehingga 1.000 ruble = 1 new ruble.
Rusia menjalankan redenominasi tersebut dalam periode empat tahun. Salah satu kunci kegagalan Rusia dalam redenominasi adalah ketidakmampuan pemerintah maupun bank sentral untuk meyakinkan masyarakat bahwa redenominasi tidak akan mendorong inflasi.
Namun, di masyarakat, rumor terlanjur menyebar. Banyak yang menganggap bahwa redenominasi merupakan cara pemerintah membodohi rakyat. Bahkan, rumor lain menyebut, redenominasi merupakan cara pemerintah merampok uang rakyat karena uang 1.000 ruble hanya diganti dengan 1 new ruble.
Lemahnya mekanisme kontrol atau pengawasan harga di masyarakat juga menjadi pelengkap kegagalan redenominasi di Rusia. Akibatnya, harga barang melesat dan inflasi melonjak. Sebagai gambaran, sebelum redenominasi, laju inflasi di Rusia cukup tinggi di kisaran 14,6 persen per tahun. Pada periode transisi redenominasi, inflasi naik hampir lipat dua menjadi 27,6 persen. Lalu, setelah redenominasi berlaku penuh, inflasi makin tak terkendali, mencapai 85,7 persen.
Bagaimana Indonesia? Dalam roadmap Kementrian Keuangan dan BI, proses redenominasi yang dimulai dengan konsultasi publik pada Januari 2013 akan rampung paling cepat 2019. Artinya, periode pelaksanaan redenominasi diperkirakan enam tahun, lebih singkat daripada Turki (sepuluh tahun) dan lebih lama daripada Rumania (tiga tahun), dua negara yang sukses menerapkan redenominasi. (owi/c6/kim)
Jawa Pos | 5 Februari 2013
Komentar
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan sumber saya menuju tulisan yang lebih baik.